Saya lahir dan besar dari keluarga etnis Betawi. Kedua ortu dan kakek-nenek saya asli Betawi. Sehari-hari berbahasa Betawi, yang kosakatanya banyak serapan dari bahasa Arab dan China.
Syahdan, garis ibu saya ada campuran Arab, sementara garis ayah saya ada campuran China. Maka banyak keluarga besar dari ibu yang bernama (harian) bari, ida, akim, uwoh – yang sangat lekat dgn kosakata Arab.
Lalu, keluarga besar dari ayah ada yang nama (panggilan) oing, oni, yati, papat – yang lekat dengan kosakata China.
Saya memanggil kekek dari garis ibu dgn sebutan “abe”, sedang dari garis ayah “kong”. Tiap kali ada acara selamatan di rumah, ibu saya biasa masak nasi uduk, olahan versi light dari nasi kebuli. Tapi saat lebaran, (dulu) selalu terhidang dodol betawi dan dodol china.
Makanan asli China, bedanya yang satu berwarna coklat pekat, satunya berwarna lebih kekuningan. Tapi tradisi keagamaan dan budi pekerti, orang Betawi sangat Melayu.
Paduan antara Arab dan Melayu melahirkan tradisi keagamaan yang condong tarekat ala Nahdliyin. Maka ikatan spiritual antara muslim (santri) betawi dgn habaib terkategori sangat dekat.
Semasa kecil, saya biasa diajak ibu ke kediaman (alm) Habib Umar al-Attas di bilangan Pasar Minggu untuk didoain dan di”sembur”. Tetapi untuk tradisi pengobatan misalnya, adopsi tradisi pengobatan tradisional cina sangat lumrah ditemukan.
Saat kecil, jika pipi mengalami inflamasi (pembengkakan), biasanya dibawa ke engkoh China Warung Buncit untuk di”paraf” pakai blauw dan di”boreh” pakai telor kodok.
Saya punya tetangga di Warung Buncit 9 (skrg Jl. Mampang Prapatan 12) yang menantunya cina mualaf, setelah haji dipanggil “Haji Oman”. Kesalehan dan kefasehannya, nggak kalah dengan yang Betawi muslim asli.
Di wilayah Mampang Prapatan dan sekitarnya (dikenal sebagai basis betawi santri), perkawinan campuran Betawi-Arab dan Betawi-China kerap terjadi. Yang langka adalah perkawinan campuran Arab dan China.
Saat usia SMP, saya pernah naksir dengan sepupu jauh yang berdarah China. Saat SMA, saya pernah naksir dengan sepupu jauh yang berdarah Arab. Keduanya nggak ada yang kesampaian, karena keduanya dari keluarga yang tergolong kaya. Sementara saya hanya dari keluarga seorang guru.
Sisi hirarki sosial, kadang masih berperan dalam pola relasi perkawinan di Betawi, yang nampaknya lebih sebagai pengaruh dari budaya Arab dan China. Tetapi hal yang saya rasakan dan alami dalam komunitas budaya Betawi, ada perpaduan harmonis antara budaya Betawi, Arab dan China.
Istilahnya betawi menjadi “melting pot” bagi keduanya. Dalam setiap acara syukuran atau keriaan, rebana dan petasan selalu hadir bersamaan dan kompak. Begitu rebana berbunyi, maka petasan pun meledak susul menyusul. Mengiringi calon pengantin, bocah sunat, babe haji dan nyai hajah yang baru pulang naik kapal Gunung Jati dari Mekkah.
Rebana dari budaya Arab, petasan dari budaya China. Bagi komunitas betawi “pinggiran” atau asosiatif dengan istilah “abangan”, pengaruh budaya China lebih kuat daripada Arab.
Tarian topeng Betawi misalnya, kostum penari perempuannya 99 persen mengadopsi model pakaian China. Tetapi wilayah Betawi pinggiran, juga secara geografis berdekatan dengan komunitas dan budaya Jawa Barat (Sunda dan Pantura).
Makanya gerak tari Topeng Betawi dan Lenong misalnya sarat dgn 3G (goyang, gitek, geol) khas Jaipongan. Tradisi pencak silat dan jawara juga lebih subur di kawasan ini. Seni bela diri silat yang akar gerakannya banyak dipengaruhi oleh gerak seni beladiri tradisional China.
Posisi sebagai melting pot dan suasana harmonious mixture dari tiga entitas budaya ini saya masih rasakan kuat hingga tahun 80-an. Lalu muncullah angin perubahan sejak era 90-an. Ada mazhab purifikasi agama yang berpadu dengan fikroh takfiri.
Angin yang entah berembus dari mana, tapi sampai ke dataran rendah kampung-kampung Betawi. Makin lama, angin itu menguat hembusannya dan mulai menggoyang sendi-sendi tradisi dan relasi mix–culture betawi.
Di saat bersamaan, para pegiat demokrasi mulai ramai beraksi di Senayan. Melewati jalan-jalan kampung Betawi. Isu ketimpangan ekonomi dan marjinalisasi pribumi, jadi aroma baru yang terendus hidung banyak pemuda Betawi, yang nggak bisa nyambung sekolah.
Mereka setiap hari kumpul di ujung gang dengan motor ojegnya. Tiba-tiba, seiring bergesernya masa, orang Betawi mulai memandang Arab dan China dengan cara yang berbeda.
Orang Betawi tiba-tiba seperti dihimpit oleh dua sisi medan magnit yang berbeda: positif dan negatif. Ada tarikan kuat ke Arab, dan tekanan kuat ke China.
Ke atas, orang Betawi melihat penguasa sebagai penindas yang harus dilawan. Situasi itu terus berlangsung dan menjalar dari generasi ke generasi orang Betawi. Tapi, arus itu tidak pernah menjadi kuat dan terarah. Karena warga betawi tidak pernah bisa berdiri kokoh dan survive dengan dirinya sendiri.
Pembangunan kota yang masih sejak era gubernur Ali Sadikin justru menggerus pondasi keberadaan dan ikatan kolektif warga Betawi. Tanah yang makin menyempit, pendidikan yang tidak manjadi jembatan mobilitas, dari tradisi keagamaan yang menciptakan mental fatalis; membuat warga betawi makin termarjinalkan.
Modernitas menjadi keniscayaan bagi sebuah kota. Sosok Bang Benyamin di film dan TV, menjadi eskapisme psikologis orang Betawi. Tapi, mereka juga tidak pernah menemukan sosok Betawi yang harus seperti apa, pada diri mendiang Bang Benyamin Syuaib.
Pilpres 2014, tiba-tiba kota Jakarta berubah jadi episentrum politik identitas (yang direkayasa). Lanjut pilkada 2017, untuk memilih Gubernur DKI Jakarta, makin pekat aroma politik identitas dan politik pembelahan.
“Pot Betawi” mulai retak. Arab dan China tiba-tiba berubah menjadi progonis dan antagonis. Orang Betawi “dipaksa memilih”.
Tetiba kampung-kampung Betawi terasa lebih banyak malaikatnya, karena disulap jadi kampung jihad. Setiap khutbah Jumat di masjid dekat rumah di kawasan Pela Mampang, penuh dengan seruan jihad politik.
Mendidihnya darah warga Betawi, ternyata panjang durasinya. Pusing bayar kontrakan dan ojeg pangkalan yang makin tergusur ojol, jadi bensin tambahannya.
Masuklah Pilpres 2019. Isu asing-aseng, islamis-nasionalis, hingga surga-neraka menjadi warna yang makin pekat dalam bincang dan gerak sepanjang proses pemilu yang paling melelahkan.
Keep cracking… Betawi kini bukan lagi pot yang memadukan 3 entitas kultur besar Melayu-Arab-Chna. Warga Betawi tanpa sadar, sedang terus memecah bejana (pot) nya dan mengubahnya sebagai wadah konflik.
Ironinya, jika cracking pot ini terus berlangsung, bukan saja perpaduan harmonis Betawi-Arab-China yang terurai dan tercerai, tapi entitas Betawi pun akhirnya akan kehilangan habitat hidupnya.
Apakah saya sedang menyalahkan warga Betawi? Tentu saja tidak, karena saya bagian inheren dari Betawi. Tapi, saya harus mengatakan, bahwa tangan-tangan di luar sana dengan teganya menjadikan “Betawi” sebagai lahan pertarungan kepentingannya masing-masing.
Mungkin sudah saatnya, warga Betawi untuk serius ngaji politik agar kampungnya tetap terjaga dan warganya menjadi bahagia. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID