Partai Golkar akhirnya menentukan sikap terkait polemik revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu. Dengan berbagai pertimbangan, partai berlambang pohon beringin itu memutuskan, meminta penundaan pembahasan RUU Pemilu alias pasrah, jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar 2024.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin membenarkan, partainya mengusulkan agar pembahasan RUU Pemilu ditunda. Perubahan sikap itu dilandasi oleh situasi pandemi Covid-19 yang belum memungkinkan untuk menggelar Pilkada pada 2022 dan 2023.
“Partai Golkar dalam sikap terakhir, setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini memutuskan, menunda revisi UU Pemilu,” ujarnya, kemarin.
Nurul menegaskan, untuk saat ini, partainya lebih mendorong agar pemerintah fokus pada pencegahan dan penanganan Covid-19. Di samping itu, pemerintah diharapkan bisa fokus pada pemulihan ekonomi.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Maman Abdurrahman membenarkan, partainya mendorong agar RUU Pemilu tak lagi dibahas. Sebab, kata dia, UU Pemilu dan Pilkada merupakan produk hukum yang masih baru dan belum digunakan.
“Karena pelaksanaan Pilkada serentaknya baru akan dijalankan pada 2024. Jadi kita jalankan saja dulu, baru nanti kita evaluasi,” ujarnya.
Politisi Golkar yang juga Anggota Komisi II DPR, Agung Widyantoro menambahkan, saat ini komisinya masih menunggu sikap resmi fraksi-fraksi terkait nasib pembahasan RUU Pemilu. Pasalnya, RUU Pemilu adalah hak inisiatif DPR.
Saat ini, tegas Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Golkar itu, nasib pembahasan RUU Pemilu belum ada tindak lanjut yang signifikan. Pasalnya, masih harus menunggu sikap resmi fraksi-fraksi sebagai representasi DPR yang akan mengajukan hak inisiatif dalam penyusunan RUU Pemilu tersebut.
Seperti diketahui, RUU Pemilu sedang jadi bahan diskusi panas di DPR. Revisi Undang-Undang ini akan menggabungkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Salah satu isu paling panasdalam RUU Pemilu ini adalah kabar akan diubahnya jadwal Pilkada serentak 2024 jadi 2022 dan 2023. Rencana pembaruan undang-undang itu membuat sikap partai politik terbelah.
Partai Demokrat misalnya, sepakat, bila Pilkada tak digelar di tahun yang sama dengan Pemili Presiden dan Pemilu Legislatif, yakni pada 2024. Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, alasan partainya ingin Pilkada tidak disertakan dengan Pemilu nasional, agar masyarakat punya waktu untuk mendalami dan memahami rekam jejak calon kepala daerah, sebelum memutuskan pilihan.
Menurutnya, jika pelaksanaan Pilkada berdekatan dengan Pilpres, masyarakat akan kehilangan momentum melihat visi misi calon kepala daerah. [SSL]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID