Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono menegaskan, Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) di Papua diketahui terkonsentrasi di daerah yang masih tertinggal dari pembangunan. Salah satunya di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Kabupaten Intan Jaya ini, kata Yogo, tergolong rawan. Sebab, memang basis KSB, dengan kekuatan sekitar 30-49 orang ditambah bersenjatakan sekitar 15 pucuk senjata campuran, baik dari rampasan dari TNI-Polri maupun senjata rakitan. “Dan yang terbaru data dari Polda, mereka mendapatkan barang selundupan dari luar,” jelas Yogo dalam webinar dengan tema “Kekerasan dan Kejahatan KKB: Kapan Papua Bisa Aman?” Jumat malam (5/2).
Operasi yang kerap dilakukan kelompok KSB ada di wilayah Sugapa, Intan Jaya, Gimba dan wilayah lainnya. Pada Kamis (4/2) terjadi kontak tembak antara KSB dengan anggota TNI di Titigi, Intan Jaya.
Yogo menjelaskan, kekerasan yang dilakukan KSB sudah meresahkan masyarakat. Bahkan, sampai menimbulkan korban dari masyarakat maupun TNI-Polri. “Sampai Januari ini mereka sudah melakukan sebanyak 46 kejadian, kontak senjata dengan TNI-Polri 24 kejadian, dan perampasan senjata dua kejadian, pembakaran pesawat dan melakukan penghadangan dan korbannya memang masyarakat dan TNI/Polri,” jelas dia.
Selain selaku satuan Kosgab kewilayahan, Pangdam Cenderawasih juga melakukan pengawasan perbatasan dan juga melakukan operasi di tempat rawan. Operasi tempat rawan ini, kata Yogo, berbeda dengan yang dilakukan di Timor-Timur, yang dilakukan operasi yang aktif.
“Di Papua ini kami lebih bersifat statis. Kami di pos. Kemudian, kami hanya melaksanakan patroli di wilayah sekitar pos dan lebih kepada pembinaan masyarakat, itu yang kami lakukan di pengamanan perbatasan maupun daerah rawan,” ungkapnya.
Operasi lain yang dilakukan TNI tak hanya pengamanan perbatasan, tetapi juga pengamanan di pulau terluar. Operasi ada 2 pulau terluar yaitu Pulau Bras dan Palindo. “Di operasi ini kami menggelar pola Ops Korem, yang berada di Jayapura itu ada tiga Batalyon, dan Pola Ops yang ada wilayah selatan, itu ada 2 Batalion, itu operasi di perbatasan ya. Kemudian operasi Pamrahwan, kami ada 3 Pola Ops Korem yaitu Korem 172 ada 1 Batalyon, 173 Biak ada 1 Batalyon dan 174 di Merauke ada 1 Batalyon,” katanya.
Sedangkan di operasi perbatasan pulau terluar, lanjut Yogo, ada di Pola Ops 173 dengan kekuatan Marinir sekitar 20 orang.
Tindakan yang dilakukan KSB belakangan ini, lanjut Yogo, memang sangat meresahkan. Apalagi sampai menimbulkan korban dari masyarakat maupun TNI. “Nah, yang terakhir ini ada dua orang dari kami, sehingga sangat mengganggu dan masyarakat menjadi takut, sehingga kita melakukan pembinaan lebih, untuk menenangkan situasi, atas ulah separatis bersenjata ini,” beber dia.
Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya, Benny Mamoto mengatakan, masalah yang terjadi di Papua harus mendapatkan perhatian bersama agar ditemukan solusi atas persoalan yang kerap terjadi di tanah Papua ini. “Di dalam perkembangan di lapangan ternyata ada rangkaian kasus kekerasan dan penembakan sampai dengan pembakaran yang kami temukan, sehingga sekaligus kami ungkap. Nah saya memberikan apresiasi sangat tinggi kepada Bapak Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, karena beliau langsung memberikan respons cepat, pokoknya all out, saya salut sekali, karena kami beberapa menghadap ke beliau, langsung memberikan arahan dan langsung melangkah dan ada hasil,” jelas Benny.
Jenderal Andika, lanjut Benny, memberikan arahan dengan cepat. Ibarat penanganan kasus, arahan yang diberikan itu seperti melakukan penyidikan yang begitu cepat dalam menangani permasalahan yang terjadi di Papua ini. “Mungkin ini penyidikan yang kilat, karena sangat cepat, yang kami lihat. Jadi secara transparan, sudah dirilis kepada media mengenai hasil pengungkapan kasus itu. “Ada sudah proses penyidikan dan ada yang dikirim ke Odipur. Jadi memang dari kasus yang kami tangani masih ada kendala,” kata dia.
Kendala-kendala yang dihadapi tim dari TGPF ini yaitu seperti izin gali kubur dan autopsi dari pihak keluarga korban. Padahal, ketika pihaknya datang ke salah satu korban mereka sudah setuju agar kuburan maupun korban bisa di autopsi. “Tapi setelah kami pulang ke Jakarta ternyata berubah, menyatakan mencabut, dan akhirnya kami kembali ke Jayapura bertemu dengan tokoh kemanusiaan, LBH untuk mempertanyakan, siapa yang mempengaruhi sehingga mereka mencabut dan akhirnya kita sepakat untuk menjelaskan kembali agar mereka mengizinkan proses ini menjadi jalan. Karena autopsi menjadi penting agar bisa terungkap,” jelas dia.
Kasus yang pertama diungkap TGPF ini, kata dia, berawal dari kasus pembakaran di Tiadipa. Sebab, ada pengakuan dari pelaku, sehingga menjadi pintu masuk. Kemudian mengungkap kasus dua orang yang hilang di Koramil Sugapa.
“Nah setelah selesai bertugas, kami membuat rekomendasi kepada Pemerintah, Panglima TNI, Kapolri, Mendagri, termasuk Menkominfo, dan Menteri PUPR. Semua itu didasari dari hasil turun ke lapangan. Kemudian memotret kondisi di sana, sekarang bayangkan saja, kami turun ke sana mobil saja minjem dari pihak swasta, kantor Polres ada di Polsek, anggotanya hanya 7 personil, ini salah satu contoh kondisi rill disana,” beber dia.
Hasil dari pemotretan ini, lanjutnya, menjadi rekomendasi seperti Menkominfo, karena jaringan disana agak kesulitan untuk melakukan komunikasi. Kemudian jembatan putus, yang menjadi kendala untuk menuju ke wilayah lain. “Kemudian satu hal yang menarik, mengenai kondisi masyarakat disana. Kami sangat prihatin, dan tentunya menjadi pertanyaan kami, anggaran cukup besar Rp 1 triliun, tapi kondisinya kok demikian, maka salah satu rekomendasi kami adalah pengawasan penggunaan APBD. Ini menjadi penting, apakah tepat sasaran,” ungkap dia.
Temuan yang menarik lagi bagi TGPF di Intan Jaya, tambah dia, yaitu tidak lepas dari masalah politik. Bagaimana setelah Pilkada, MK menyatakan salah satu pasangan sebagai pemenang, yang kemudian mendapatkan respon pembakaran salah satu kantor bupati, yang menjalar kepada konflik. Dan itu belum selesai secara tuntas. “Nah ini tentunya juga rekomendasi kami masuk kesana, bagaimana Mendagri bagaimana masalah ini selesai sampai ke akarnya dan kami dengar Kapolda juga sudah menangani masalah ini,” jelas dia.
Marinus Yaung, akademisi Universitas Cenderawasih, mengatakan, KKB di Papua mengklaim memiliki alasan untuk melakukan kekerasan kepada warga. “Kalau negara hadir dengan tujuan dan alokasi yang kuat, mereka juga bisa meletakkan senjata. Karena tidak ada orang Papua yang dilahirkan untuk membenci dan melawan orang lain, semua manusia seperti itu,” jelas dia.
Dia memastikan, kekerasan yang terjadi di Papua selama ini karena pelakunya diajak, atau terancam. Itu yang kemudian membentuk pemikiran terhadap orang lain. Karena itulah, ketika negara hadir dengan dengan pendekatan yang tepat, maka KSB ini yang melakukan kekerasan akan bisa diminimalisir dan diselesaikan dengan baik.
“Saya kebetulan beberapa tahun yang lalu bersama tokoh-tokoh, sehingga saya tahu persis. Sebenarnya, mereka orang-orang yang bisa diajak untuk berdialog. Menurut saya dalam menangani KSB ini, tindakan mereka diatur oleh orang diluar negeri, mereka diatur dari tindakan mereka oleh aktor intelektual yang ada di luar mereka,” kata dia.
Negara, kata dia, seharusnya melakukan pendekatan. Ada tiga konsep, seperti Papua damai. Sebab, menurut aparat keamanan, Papua akan aman bila kelompok KSB tidak ada. “Jadi, konsepnya seperti itu, kalau Papua aman, maka tidak ada KSB atau Kelompok Kriminal Bersenjata, ini akan hilang,” jelas dia. [USU]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID