Kejaksaan Agung memeriksa dua Direksi PT Pelindo II dalam penyidikan kasus perpanjangan kontrak kerja sama Jakarta International Container Terminal (JICT).
Kedua direksi itu adalah Direktur Utama Arif Suhartono dan Direktur Keuangan Yon Irawan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer menerangkan, pemeriksaan terhadap keduanya untuk mengumpulkan bukti-bukti dan fakta hukum, untuk membuat terang benderang tindak pidana dalam kasus ini.
Diduga, terjadi tindak pidana dalam dalam proses perpanjangan kerja sama pengoperasian dan pengelolaan JICT antara Pelindo II dengan Hutchison Port Holding, perusahaan Hong Kong. “Masa berlakunya habis pada 2015. Dugaan perpanjangannya inilah setelah 2015 ini, diduga ada perbuatan melawan hukum,” katanya.
Dalam pengusutan kasus ini, penyidik Gedung Bundar ikut memeriksa istri dan anak RJ Lino, mantan Direktur Utama Pelindo II. “Sekarang kita lagi mendalami apakah memang mereka ada menerima feedback dari proses hukum. Jadi keluarganya juga dicek, satu-satu diperiksa,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Febrie Adriansyah.
Ia menjelaskan pemeriksaan ini terkait dugaan pemberian gratifikasi. “Makanya diperiksa anak-anaknya. Tapi belum bisa dipastikan ada atau tidak,” katanya.
Penyidik telah mengantongi data keuangan Lino dan keluarganya. “Buku (rekening) bank sudah dikasih semua, data-datanya sudah diberikan,” kata Febrie.
Hingga kini, Kejaksaan Agung belum menetapkan tersangka kasus ini. Alasannya, masih menunggu hasil perhitungankerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Perpanjangan kontrak pengelolaan JICT dengan Hutchison Port Holding (HPH) ditandatangani di era Lino menjabat Direktur Utama Pelindo II. Lino sempat dipanggil Panitia Angket Pelindo II DPR pada Desember 2015 lalu. Ia pun menjelaskan kronologi proses perpanjangan kontrak kerja dengan Hutchison.
Pada Mei 2012, Hutchison menyatakan berminat memperpanjang kontrak pengelolaan JICT dan menyerahkan draft proposal perpanjangan kerja sama.
Pada 21 September 2012, Pelindo II meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan penelaahan terhadap draft penawaran yang diajukan Hutchison.
Pada 30 September 2012, Hutchison memasukkan proposal. Hasil review BPKP keluar pada 14 November 2012. BPKP berpendapat, rencana investasi dan perpanjangan kerja sama pengoperasian JICT akan memberikan manfaat tidak saja bagi Pelindo II. Juga bagi perdagangandan perekonomian nasional.
BPKP merekomendasikan agar Direksi Pelindo II melakukan kajian aspek legal, menunjuk financial advisor untuk melakukan analisis bisnis serta periode perpanjangan yang tepat.
BPKP mengingatkan Direksi Pelindo II, agar meminta rekomendasi dari Dewan Komisaris dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Pada 19 November 2012, kamimeminta rekomendasi dari Dewan Komisaris,” tutur Lino.
Kemudian, pada 17 Januari 2013, Pelindo II meminta pendapat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Kejaksaan Agung (selaku jaksa pengacara negara) mengenai bisa atau tidak dilakukan perpanjangan kontrak.
Selanjutnya, Pada 1 Februari 2013, Pelindo II membentuk Oversight Committee. Tak lama, Pelindo II menerima penawaran kerja sama dari Mitsui untuk pengelolaan New Priok Container Terminal (NPCT) 1 Kalibaru. “Yang menurut assessment mereka (Oversight Committee) menunjukkan angkanya sangat bagus, menguntungkan Pelindo II,” kata Lino.
Mengacu penawaran dari Mitsui itu, Pelindo II meminta Deutsche Bank melakukan kajian finansial mengenai JICT. Penawaran Mitsui diminta menjadi benchmark evaluasi perpanjangan kontrak JICT.
Pada 14 Januari 2014, Pelindo II kembali meminta BPKP menelaah aspek finansial. Hasilnya, baru keluar empat bulan kemudian. Salah satu poinnya, agar dibuat opsi mengoperasikan sendiri atau dilakukan perpanjangan kerja sama dalam pengelolaan pelabuhan.
“Dari hasil review tersebut disimpulkan, perpanjangan kontrak jauh lebih menguntungkan dibanding jika dioperasikan sendiri,” kutip Lino.
Jika dioperasikan sendiri, Pelindo II hanya mendapatkan 948,90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 12,9 triliun. “Tapi jika kontrak diperpanjang, pendapatannya bisa mencapai 1,244 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 16,9 triliun,” jelasnya.
Pada tahun yang sama, Pelindo II meminta kajian teknis dari BMT Asia Pasific. Kemudian meminta kajian legal Kejaksaan Agung dan Norton Rose Fulbright, firma hukum top di Amerika. KPK ikut dimintai saran mengenai aspek good corporate governance.
Mengikuti saran pemegang saham dan Oversight Committee, Pelindo II mengundang empat operator pelabuhan kelas dunia, yakni PSA International, China Merchants Holding, APM Terminals dan DP World Asia Holding, untuk mengajukan penawaran kerja sama pengelolaan JICT dengan mekanisme right to match. Namun tidak ada yang berminat.
Pada 2015, Dewan Komisaris Pelindo II meminta pendapat hukum kepada kantor hukum Soemadipraja & Taher, serta Financial Research Institute (FRI). Kemudian bersama-sama direksi meminta Bahana Securities melakukan review atas kajian finansial yang dibuat Deutsche Bank.
Dianggap menguntungkan, Dewan Komisaris Pelindo II menerbitkan rekomendasi perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT kepada Menteri BUMN.
Pada 9 Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno memberikan persetujuan kerja sama Pelindo II dengan Hutchison dan meminta Dewan Komisaris mengawasi pelaksanaannya.
Rini juga mengingatkan agar kerja sama ini memperhatikan ketentuan peraturan yang berlaku, good corporate governance dan bisa memberikan hasil optimal bagi Pelindo II. Sebulan kemudian, Lino menandatangani kontrak dengan Hutchison. [GPG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID