Banyak dikabarkan terapi plasma konvaselen (TPK) sebagai salah satu upaya ampuh untuk menyembuhkan pasien yang tertular Covid-19.
Benar memang, dalam uji coba yang melibatkan Palang Merah Indonesia hasilnya menggembirakan. Metode ini ampuh serta dianjurkan bagi kaum pria.
Lalu bagaimana cara mendapatkannya, berikut penjelasannya.
Pemerintah dan Palang Merah Indonesia (PMI) telah menginisiasi Gerakan Nasional Donor Plasma Konvalesen. Kewenangan dan kompetensi yang paling pas saat ini berada di PMI.
Untuk orang yang ingin mendapatkan donor plasma ini ada tahapannya.
Pertama, dokter yang merawat pasien, memberi surat permohonan plasma ke PMI. Kemudian, keluarga pasien membawa surat tersebut beserta berkas yang melengkapinya ke PMI.
Dari PMI, pasien akan mendapatkan plasma yang sesuai golongan darah.
“Harus ke PMI karena untuk keamanan penerima,” ujar Dr. Monica selaku Pelopor Terapi Plasma Konvalesen, Sub Bidang TPK Satgas Covid-19 dalam live Instagram Katadata, bertema Sembuh dari Covid-19 dengan Terapi Plasma Konvalesen?, dikutip Sabtu (7/2).
Di PMI sudah dilakukan berbagai proses untuk pengambilan plasma. Sertifikasi pun sudah lengkap, proses untuk screening terhadap infeksi menular melalui transfusi darah itu akan di-screening di PMI.
“Jadi, plasma yang diberikan di PMI benar-benar aman untuk penerima,” jelas Monica.
Secara umum, kriteria pendonor plasma adalah orang yang pernah menderita Covid-19, dengan menyertakan surat terkonfirmasi positif Covid-19 melalui swab PCR.
Selain itu, orang tersebut sudah 14 hari bebas dari gejala Covid-19 dan dinyatakan sembuh dari virus corona dengan membawa surat terkonfirmasi negatif Covid-19 melalui swab PCR.
Ada juga beberapa persyaratan lainnya yaitu usia pendonor harus 18 sampai 60 tahun, tidak ada penyakit penyerta atau komorbid dan pendonor harus dalam keadaan sehat.
Pendonor pun diutamakan laki-laki. Rupanya, ada alasan terkait hal tersebut. “Diutamakan laki-laki yang belum pernah menerima transfusi darah sebelumnya,” terangnya.
Diutamakan pria bukan berarti perempuan enggak boleh. Kalau pun perempuan, diutamakan yang belum pernah hamil, keguguran dan menerima transfusi sebelumnya, karena ada satu faktor yang disebut HLA yaitu Human Leukocyte Antigen,” jelasnya.
HLA ini, lanjut Monica, sangat berhubungan dengan faktor resiko alergi pada paru-paru yang berat. Itu yang merupakan efek samping dari transfusi plasma.
“Tapi, efek samping ini sudah diminimalisasikan dan dihilangkan sejak awal dengan screening donor,” sambungnya.
Lebih jauh dia kembali menerangkan, TPK ini sudah dikenal cukup lama. Mulai dari ketika menghadapi flu Spanyol, Sars, H1N1, hingga Covid-19.
Monica mengatakan, dari dulu sampai sekarang, prinsip kerja TPK ini sama. Hanya saja, virus yang dihadapinya berbeda. Prisip kerjanya yaitu dengan memindahkan plasma yang mengandung antibodi dari orang yang pernah kena Covid-19 atau penyintas, ke penderita Covid yang masih sakit.
“Istilahnya seperti antibodi instan atau booster antibodi. Antibodi para penderita Covid-19 kurang. Jadi, ditambahin antibodi dari luar,” katanya. [JAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID