Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut minyak goreng bekas pakai alias jelantah punya potensi bisnis yang besar.
Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto menjelaskan, jelantah bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk dijadikan bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel secara komersial.
Ada dua prinsip utama yang harus dipenuhi apabila menjadikan jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Pertama, kualitas minyak jelantah harus mencapai standar spesifikasi biodiesel. Kedua, punya nilai keekonomian tinggi dan dapat diimplementasikan.
“Jika kedua prinsip tersebut bisa dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional,” kata Hudha dalam keterangan pers dikutip Minggu (18/4).
Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menambahkan penggunaan biodiesel dari minyak jelantah ini akan menekan jumlah emisi karbon. Berdasarkan analisa Kementerian ESDM, biodisel sendiri berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar.
“Jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon,” tuturnya.
Pebisnis asal Makassar, Sulawesi Selatan Andi Hilmi mengaku sudah menangkap peluang bisnis jelantah sejak masih duduk di bangku SMA.
“Ketika itu kami mengembangkan puluhan diversifikasi energi. Namun, yang paling ideal adalah biodiesel,” kata Andi.
Sejak SMA sudah menggeluti ini. Bahkan satu bulan bisa meraih omzet sekitar Rp 200 juta. Kini usahanya berkembang. Sekarang dia mempunyai usaha biodiesel berskala industri GenOil di usianya yang menuju 21 tahun.
Untuk memulai ada beberapa hal yang harus diketahui. Meski tidak detail mengajarkan secara spesifik dia membagikan beberapa tips umum, antara lain;
1. Pastikan ada kebutuhan
Awalnya kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bikin nelayan di Makasar tak bisa melaut, Andi pun mulai mencari solusi dengan biodiesel berbahan dari jelantah.
“Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya harus sesuai kebutuhan,” katanya.
2. Jalin jejaring
Bangun jejaring salah satunya ikut organisasi misalnya Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Dia mengaku lebih memudahkan dalam mencari teman-teman yang memiliki visi serupa.
“Saya merintis berharap ada yang mau membangun bersama-sama. Hingga akhirnya saya menemukan teman yang percaya kepada saya,” kata Andi.
Jejaring ini dimanfaatakan betul oleh Andi. Bahkan tak sedikit yang menawarkan berbagai bentuk kerja sama dari jejaring tersebut.
Sementara itu, Traction Energy Asia juga telah menginisiasi adanya Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah menyebutkan,
“Tujuannya adalah advokasi kebijakan agar minyak jelantah diatur oleh regulasi. Hampir semua merespons positif. Ke depannya kami akan mengadakan kongres dan deklarasi,” kata Ricky Amukti.
3. Kedepankan Berpikir Inovatif
Bagi Andi dan Ricky, meski amat menjanjikan, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pengolahan dan proses pengumpulan minyak jelantah.
Untuk mengumpulkan pasokan minyak, Andi membuat bank minyak jelantah RT/RW dengan fasilitas seperti check point dan jerigen. Namun, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit.
Oleh karena itu, Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah melalui program CSR. Hingga saat ini Andi sudah membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga.
Tantangan lain dari sisi teknis biodiesel adalah karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang akan sulit memenuhi tuntutan tinggi kualitas biodiesel untuk B30.
Sedangkan dari sisi bisnis, keberadaan minyak jelantah sebagai bahan baku masih tersebar dan tidak terpusat. Ini menyulitkan membangun “Jadi mungkin solusi yang baik adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah melalui skema niaga langsung ke end user (skema tertutup) di luar dari skema B30 yang berlaku secara nasional,” katanya.
4. Jangan bosan mengedukasi
Berdasarkan penelitian, dari 16,2 juta kiloliter konsumsi minyak jelantah hanya 3 juta kiloliter minyak jelantah yang mampu dikumpulkan di tahun 2019. Lalu 2,43 juta kiloliter di antaranya didaur ulang untuk dikonsumsi kembali.
Padahal minyak goreng yang dipanaskan berulang dan minyak jelantah yang dijernihkan lalu dipakai lagi, berpotensi menimbulkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit jantung, ginjal, dan stroke.
Edukasi soal bahaya minyak goreng daur ulang inilah yang dilakukan oleh Andi dan timnya. Ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak goreng yang terserap, sisanya menjadi limbah.
Ia mengajak masyarakat menabung minyak jelantah. Nantinya, tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak goreng baru dan nantinya terbiasa mengonsumsi minyak goreng yang sehat.
5. Libatkan Masyarakat di Sekitar
Andi membangun bisnis bersama lima teman, merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
Ia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing.
Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp 1.000. Sejumlah pengusaha biodiesel di berbagai kota merekrut masyarakat lokal untuk mengolah dan menjual produk olahan jelantah. Sehingga usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. [JAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID