Indonesia memiliki cadangan gas yang berlimpah ruah. Namun sayang, hingga kini bangsa ini belum optimal menggarap potensi tersebut.
SatuanKerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) optimistis sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih bisa terus dioptimalkan meski Pemerintah sedang gencar melakukan transisi ke energi yang lebih bersih.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z. Yunus mengatakan, melonjaknya harga migas menyebabkan beban subsidi energi meningkat. Artinya, ketersediaan migas masih sangat diperlukan sebagai salah satu sumber energi utama yang digunakan saat ini.
“Tantangannya, potensi migas nasional lebih didominasi oleh gas. Hal ini tentu menjadi tantangan bersama, bagaimana agar gas dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga bisa menggantikan peran minyak yang saat ini sebagian masih impor,” ujar Taslim dalam pembukaan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) sekaligus media gathering SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), di Bandung, Senin (3/10).
Dia mengungkapkan, besarnya potensi migas dalam negeri belum digarap optimal. Padahal Indonesia memiliki 128 cekungan migas, yang sebagian besar memiliki potensi gas.
“Dari jumlah itu, yang sudah berproduksi baru 20 cekungan. Dan sisanya menjadi tantangan, bagaimana diproduksi agar dapat menjadi penopang ketahan energi nasional,” katanya.
Jika cekungan-cekungan tersebut berhasil dieksplorasi dan dieksploitasi, menurut Taslim, bisa membawa banyak keuntungan bagi Indonesia.
Keuntungan pertama, jika gas yang ditemukan berhasil diambil maka akan menambah bauran energi. Kedua, jika cekungan-cekungan tersebut menghasilkan migas, maka bisa mengurangi defisit transaksi berjalan.
Hanya saja, tantangan yang ada saat ini adalah bagaimana memonetisasi potensi yang ada tersebut.
Dipaparkannya, industri migas saat ini harus bersaing dengan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam mengundang investor. Sebab, pengembangan EBT berkaitan dengan komitmen Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE) sampai 2060.
“Kita tahu, beberapa negara di Eropa sudah menghentikan pembiayaan energi fosil. Tapi sebenarnya gas bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengisi energi transisi, sampai sumber energi bersih siap memenuhi kebutuhan energi nasional,” bebernya.
Selain tantangan tersebut, Taslim menyampaikan, bahwa posisi Indonesia saat ini masih kurang menarik bagi investor dibandingkan negara lain. Penyebabnya, masalah perizinan yang sangat banyak dan sulit. Untuk itu, Pemerintah harus mencari berbagai cara agar sektor migas di Indonesia menarik.
Pihaknya juga mengharapkan dukungan dari Pemerintah Daerah (Pemda), untuk bersama-sama meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia. Sehingga bisa mendukung target pencapaian peningkatan produksi migas nasional di tahun 2030, yaitu produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BSCFD (Billion Standard Cubic Feet per Day).
“Untuk mewujudkannya, dibutuhkan dukungan dari Kontraktor dan Pemda penghasil migas,” katanya.
Terkait upaya peningkatan produksi migas nasional, Taslim memastikan, SKK Migas terus berupaya memaksimalkan aset yang sudah ada menjadi produksi, mempercepat EOR (Enhanced Oil Recovery), mengakselerasi temuan yang ada menjadi produksi, serta melakukan eksplorasi yang masif.
“Seperti kita ketahui, saat ini Indonesia merupakan importir migas. Karena dari kebutuhan sebesar 1,4 juta barel per hari, Indonesia hanya bisa memproduksi 615 ribu barel per hari,” katanya.
Di kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Kepala SKK Migas Ngatijan menjelaskan, hingga kuartal III-2022, produksi minyak nasional masih belum mencapai target yang ditetapkan.
Merujuk data SKK Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, produksi minyak baru mencapai 613.100 barel per hari (bph). Alias 87,2 persen dari target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebesar 703.000 bph.
“Dari awal tahun, kita tahu bahwa kemampuan kita pada saat itu untuk mencapai 703 ribu barel sangat susah,” akunya.
Hal ini dikarenakan unplanned shutdown yang terjadi pada beberapa lapangan migas sejak awal tahun. Sehingga turut berdampak pada raihan produksi migas di tahun ini.
Sementara lifting minyak hingga kuartal III-2022 mencapai 610.100 bph, atau 86,8 persen dari target 703.000 bph.
Lalu, salur gas mencapai 5.353 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day), atau 92,3 persen dari target sebesar 5.800 MMSCFD.
“Total lifting migas mencapai 1,566 juta barel setara minyak per hari (BOEPD/Barrel of Oil Per Day), atau 90,1 persen dari target APBN sebesar 1,739 juta BOEPD,” imbuhnya.
Dalam kegiatan tersebut, turut hadir sebagai keynote speech Gubernur Jawa Barat yang juga Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET), Ridwan Kamil. Dia bilang, pihaknya akan menunggu hasil rekomendasi dari FGD yang diselenggarakan SKK Migas. Sehingga apa yang dibahas dan dihasilkan dapat disosialisasikan dengan Pemda penghasil migas, sebagai upaya bersama meningkatkan iklim investasi hulu migas di Indonesia. Sekaligus untuk mendukung proses transisi energi ke EBT di masa mendatang.
“Tentu diperlukan upaya bagaimana melatih ketergantungan dari minyak ke gas yang jumlahnya banyak, tetapi belum termanfaatkan dengan optimal,” kata Ridwan Kamil yang kerap disapa Kang Emil ini.
Ia menilai, SKK Migas punya tanggung jawab agar potensi gas yang besar tersebut dapat ditindaklanjuti dengan transisi konversi gas yang bisa dimaksimalkan.
Hal ini perlu dilakukan, sebelum Indonesia sebagai negara yang sepenuhnya menerapkan penggunaan EBT.
Yang patut disyukuri bersama, lanjut Kang Emil, bahwa Indonesia memiliki sumber EBT terbesar di dunia.
“Sehingga upaya mendorong penggunaan EBT harus sejalan dengan penggunaan energi gas yang lebih besar, untuk mengurangi penggunaan minyak,” tegasnya.
Menanggapi ini, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, ketidakpastian hukum masih menjadi masalah klasik investasi migas di Indonesia.
Ia menekankan, selama bertahun-tahun, aspek regulasi di sektor hulu migas Indonesia selalu berkutat pada tiga masalah utama.
Yakni ketidakpastian hukum, ketidakpastian fiskal dan proses izin yang rumit.
“Ini berdampak pada kondisi, tidak dihormatinya kontrak kerja sama yang berlaku, yang secara mendasar merupakan syarat utama bagi iklim investasi yang kondusif,” tutup Mamit saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID