Rencana pemerintah mengimpor beras 1 juta ton mendapat kritikan dari banyak pihak. Presiden Jokowi yang sempat menggaungkan benci produk asing ikutan kena imbasnya. Terhadap kritik tersebut, Menteri Perdagangan, M Lutfi pasang badan. Dia bilang, Indonesia butuh impor beras untuk menjaga pasokan.
Lutfi menjelaskan, alasan pemerintah mengimpor beras ketika stok masih tinggi. Menurunya, beras impor tersebut bakal digunakan untuk menambah cadangan. Dia mengakui, produksi beras tahun ini akan baik. “Tapi biar bagaimana pun pemerintah mesti punya cadangan atau yang disebut iron stock,” kata Lutfi dalam Raker Perdagangan, Jumat (5/3).
Menurut dia, beras adalah komoditas yang sensitif bagi masyarakat. Karena itu, pemerintah perlu menjaga ketersediaan barang dan stabilitas harga. “Ketika barang ada meskipun harga tinggi, itu jauh lebih mudah menurunkan harganya. Daripada harga tinggi dan barang tidak ada,” katanya.
Lalu Lutfi mengatakan, impor dilakukan untuk mencegah kondisi terburuk. Dia juga menegaskan, pemerintah tidak akan mengeluarkan beras impor itu saat panen raya. “Jadi tidak dijual serta-merta ketika panen, keputusan kapan iron stock itu mesti keluar harus dimusyawarahkan bersama-sama,” ucapnya.
DPR ikut bicara mengenai impor beras. Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan menyayangkan, pemerintah tetap ngotot melakukan impor beras. Menurutnya, kebijakan itu tidak berpihak pada petani. Soalnya, saat ini petani sedang panen raya. Ia khawatir, impor beras petani akan kecewa. Akibatnya sektor pertanian yang diharapkan tumbuh justru kembali terpuruk. “Kebijakan impor ini sangat ironi. Karena terbukti merugikan petani,” kata Johan, kemarin.
Politikus PKS ini menjelaskan, impor beras menyebabkan padi milik petani sulit diserap pasar. Harga gabah turun. Akibatnya harga penjualan tidak mampu lagi menutup ongkos produksi. Bahkan Bulog juga kadang tidak mampu menyerap hasil produksi beras dari petani. “Kondisi ini menyebabkan petani kita selalu berada pada keadaan merugi terus-menerus. Akibatnya semakin banyak petani miskin,” ungkapnya.
Karena itu, dia berharap, pemerintah memperhatikan nasib petani dan segera membatalkan rencana impor beras ini demi kedaulatan pangan Nasional. Kata dia, jika ingin memastikan ketersediaan stok beras dalam negeri, yang harus dilakukan adalah terus meningkatkan produktivitas beras nasional.
Direktur Eksekutif Indef, Ahmad Tauhid menyampaikan hal serupa. Kata dia, kebijakan itu lambat laun akan menghancurkan kondisi harga di tingkat petani yang kini sedang berjuang meningkatkan produksi. Dia menjelaskan, awal tahun ini akan ada musim panen sampai Maret. Diperkirakan produksi padi mencapai 8,7 juta ton GKG (gabah kering giling). Begitu juga dengan April yang mencapai 8,59 juta ton GKG. “Kalau impor beras sekarang ini dilakukan maka tentu saja akan menghancurkan harga di tingkat petani,” kata Tauhid, kemarin.
Menurutnya, jika mengacu pada kebutuhan 2020, kebutuhan beras nasional 2021 diperkirakan mencapai 31-32 juta ton dengan produksi dalam negeri sebesar 30 juta ton. Angka ini masih ditambah dengan sisa stok beras Desember 2020 yang mencapai 6 juta ton. Dengan hitungan tersebut, ketersediaan beras nasional diperkirakan mencapai 36 juta ton, sehingga masih ada kelebihan beras sekitar 4-5 juta ton.
Dengan data itu, menurut dia, belum diperlukan impor beras. “Kecuali 2021 kita menghadapi gagal panen yang luar biasa sehingga anjlok produksi beras kita. Sampai saat ini saya kira tidak perlu impor beras,” katanya.
Agar stok beras bisa tercukupi, ia minta Perum Bulog melakukan pembelian padi secara besar-besaran, sehingga kedaulatan pangan nasional bisa terwujud. “Apalagi disampaikan beberapa waktu oleh Pak Presiden bahwa kita harus mengutamakan produk dalam negeri,” katanya.
Lalu bagaimana sikap petani? Wakil Sekjen Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional, Zul Herman mengatakan, kebijakan impor ini sudah membuat gaduh para petani yang sedang berjuang menegakkan kedaulatan pangan. “Tidak perlu impor karena Maret ini akan ada panen raya,” tuturnya. [BCG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID