Salah satu kelemahan pemerintahan Jokowi adalah inkonsistensi alias plintat-plintut dalam mengeluarkan kebijakan publik, sehingga membuat masyarakat kebingungan.
Baru pada 16 Maret yang lalu, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR, mengatakan pemerintah lewat Kementerian Perhubungan, tahun ini tidak akan melarang mudik lebaran, tapi dengan syarat ketat.
Pihaknya akan melakukan koordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 untuk membentuk mekanisme khusus bagi pelaksanaan mudik lebaran. Persyaratan mudik, antara lain, pengetatan pelaksanaan mudik hingga massifnya upaya tracing pada saat musim mudik lebaran tiba.
Tapi, kemarin, Jumat, 26 Maret 2021, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menegaskan, pemerintah melarang mudik lebaran tahun ini. Larangan ini berlaku buat seluruh pihak, bukan hanya ASN. Keputusan itu berdasarkan hasil rapat tingkat menteri, Jumat 26 Maret 2021.
Kenapa mudik Lebaran tahun ini dilarang? Menko PMK tidak jelaskan.
Aneh kan? Ketika Menteri Perhubungan di depan rapat bersama Komisi V mengatakan pemerintah lewat Kementerian Perhubungan ……..
Jadi, dia bicara atas nama pemerintah. Apakah Menteri Perhubungan berwenang mengumumkan satu kebijakan nasional atas nama pemerintah Jokowi?
Dalam Rapat Terbatas bidang PMK kemarin, Menteri Perhubungan juga hadir. Dan Ratas PMK memutuskan pemerintah meniadakan mudik, melarang mudik untuk seluruh pihak.
Tentang sekolah tatap muka tingkat SD hingga SLTA, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, semula beberapa kali menegaskan bahwa boleh tidaknya pendidikan tatap-muka diserahkan kepada orangtua. Jika orangtua berkeberatan, ya tidak apa, anaknya boleh sekolah lewat online.
Tidak lama kemudian, Kemendikbud mengatakan, soal sekolah tatap-muka diserahkan kepada keputusan Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah, khususnya DKI, hingga hari ini, belum memutuskan apakah pada tahun akademik Juli 2021 ini, anak-anak didik kita sudah bisa sekolah tatap-muka, atau tetap lewat daring, atau kombinasi antara tatap-muka dan daring.
Rupanya, begitu susah koordinasi antar-instansi ketika hendak memutuskan satu kebijakan nasional. Plintat-plintut kebijakan publik, rupanya, juga disebabkan pemerintah tidak mau meminta masukan/nasehat dari ahli di bidangnya.
Soal sekolah tatap-muka, misalnya, pemerintah hanya ulang-ulang mengatakan, kalau jadi dilaksanakan, harus mentaati protokol kesehatan yang ketat. Satu kelas cuma diisi maksimal 50% siswa; tidak boleh ada kegiatan di kantin, bermain-main dan lain sebagainya.
Para pejabat Kemendikbud tidak pernah berpikir apakah anak murid SD bisa menjalankan Prokes yang ketat? Bagaimana pula dengan anak-anak TK yang berusia 4 hingga 6 tahun?
Dua cucu kami sudah daftar ke satu sekolah TK. Kata pimpinan sekolah, kegiatan belajar nanti diadakan selang-seling: antara tatap-muka dan daring.
Bagaimana bisa dijamin bahwa anak-anak berusia 3 hingga 6 tahun mampu melaksanalkan protokol kesehatan yang ketat? Apakah para guru juga bisa menjamin?
Risiko terpapar Covid-19 niscara akan besar! Mohon, para petinggi Kemendikbud “putar otak” lagi secara sungguh-sungguh. Ingat, anak-anak kecil menjadi taruhan atau menanggung risiko yang serius.
Jika kegiatan sekolah tatap-muka untuk siswa SMA atau pendidikan tinggi, pengaturannya tentu lebih mudah; dalam arti mereka lebih paham untuk melaksanakan prokes yang ketat, meski belum jaminan juga.
Soal mudik Lebaran, apa tidak sebaiknya memang dilarang?
Pemerintah Jokowi jangan sok “PD” karena vaksinasi sudah berjalan lancar. Di banyak negara Eropa, pandemi Covid-19 sudah memasuki gelombang ketiga (third waves), makin hebat.
Brazil dan India tetap “gila” pandemi Corona-nya. Indonesia belum bisa dikatakan aman. Kemarin, 26 Maret, pasien terpapar corona mencapai 4.982, memang jauh lebih rendah dibandingkan angka 2-3 bulan yang lalu. Namun, angka itu tidak bisa dikatakan “menggembirakan”.
Di Jakarta, angkanya tetap di atas 1.000 orang per hari; 1.381 kemarin, 26 Maret 2021. Lalu, pemerintah DKI melonggarkan kebijakan; membuka museum, karaoke, dan lain-lain. Kamar karaoke yang umumnya sempit, dan kerap dipakai untuk muda-mudi berpacaran, disamping melampiaskan hobi menyanyi, apa tidak bahaya jika banyak berkunjung?!
Jangan lupa, orang yang sudah divaksin 2 kali tidak lalu jadi “superman”. Ancaman kena Covid-19 tetap terbuka. Seorang pengusaha CEO kosmetik baru-baru ini pergi ke Bali untuk menghadiri acara pernikahan anaknya. Tidak lama setelah kembali ke Surabaya, ia masuk rumah sakit dan meninggal dunia karena Covid-19. Kasus-kasus seperti ini bisa Anda baca di media sosial, dan banyak!
Sekali lagi, soal mudik lebaran, menurut hemat kita, memang sebaiknya dilarang. Apa pun embel-embelnya – harus menjalankan protokol kesehatan ketat, test Covid lebih dulu, tidak boleh berjejal-jejalan dan sebagainya, tetap rentan Covid-19. Jika permintaan mudik berjubel, semua aturan prokes itu pasti akan jebol.
Jika keputusan pemerintah akhirnya melarang mudik, harus ada kebijakan pelaksanaannya. Bus-bus pengangkut mudik harus diberikan sanksi seberat-beratnya jika bandel/melanggar aturan larangan mudik lebaran. Siapa pun yang melanggar aturan larangan mudik harus dikenakan sanksi berat!
Orang boleh saja memprotes keputusan pemerintah melarang mudik lebaran dengan berbagai alasan. Bukankah Mudik sudah tradisi sekian lama? Bukankah mudik jadi forum silaturahmi yang mempererat tali persaudaraan antar-keluarga yang hanya bisa dilakukan setahun sekali?
Pandemi Corona memang memukul berbagai aspek kehidupan manusia. Para pebisnis sudah lama berteriak keras. Hampir semua sektor bisnis limbung selama satu tahun; omzet bisnis jatuh, minimal 30-40%. Rasionalisasi karyawan tidak bisa dihindarkan.
Akibatnya, orang yang kehilangan pekerjaan – alias pengangguran — juga terus bertambah. Akibat beruntunnya, kriminalitas meningkat tajam. Orang nekad berbuat jahat untuk “isi perut”. Sementara itu, ekonomi nasional juga anjlok. Bagaimana kita bisa genjot ekspor, sebab di hampir semua negara juga mengalami fenomena sama, yakni anjloknya penerimaan negara. Penerimaan pajak idem ditto. Yang naik, bahkan semakin naik hanyalah utang pemerintah, utang BUMN/BI dan swasta.
Antara nyawa dan ekonomi, mana yang lebih penting, mana yang harus didahulukan? Situasi dilematis ini amat sulit dipecahkan. Kebijakan yang diluncurkan pemerintah memang bagus: kesehatan dan ekonomi diperhatikan dan dijalankan secara paralel. Namun, de facto, jargon ini sulit dilaksanakan secara efektif.
Kalau kita terapkan ajaran Sigmund Freud, nyawa – survival instinct — tetap nomor satu. Kontroversi tentang larangan atau pembebasan mudik Lebaran, sekolah tatap-muka atau daring, buka lagi bioskop, restoran dan karaoke, semua kembali pada pertanyaan akbar tadi: mau sayang nyawa atau ikatkan perut sekencangnya dengan segala konsekuensi yang tidak enak juga?
Pesan kita kepada pemerintah: Ambillah kebijakan – bidang apa pun – yang betul-betul bijak dan jitu, dengan melibatkan banyak ahli di bidangnya untuk menghindari sikap plintat-plintut! (*)
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID