Pengamat Politik Senior, Prof. Tjipta Lesmana Moeldoko Menggoyang Demokrat, Ada Apa? –

Dalam perpolitikan di Indonesia, sejak Orde Baru, penguasa selalu menjaga dan menciptakan stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan. Asumsinya: pembangunan nasional tak kan berjalan mulus, jika stabilitas politik goyang-goyang seperti pada era Orde Lama.

Maka, tugas pokok Soeharto setelah ditetapkan sebagai Presiden oleh MPRS pada 1968 adalah menciutkan jumlah partai politik: dari 9 menjadi 3 partai saja: Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (yang kemudian ganti nama jadi Partai Golkar).

Dua partai pertama oposisi, sedangkan Golkar partai pemerintah. Tidak cukup 3 partai, kedua partai oposisi juga diobok-obok sedemikian rupa sehingga pimpinannya jadi “orang pemerintah”.

John Naro, Ketua Umum PPP digoyang kepemimpinannya sampai jatuh. Naro dinilai tidak akrab dengan pemerintah.

PDI terus digoyang sehingga pecah jadi 2 kubu besar. Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri terus-menerus dirongrong. Tapi, Mega sukar dijatuhkan karena didukung oleh akar rumput di seluruh Indonesia.

Melalui forum Kongres di Jakarta, kemudian KLB di Medan dan terakhir Kongres lagi di Surabaya, tetap saja melahirkan DPP kembar.

Sedemikian parah perpecahan PDI, akhirnya Dewan Pengurus Pusat menyerahkan kepada pemerintah pusat untuk membentuk Pengurus DPP. Memalukan sekali!

Pada era reformasi, strategi pemerintah melemahkan partai politik yang dinilai “suka menggonggong” tetap berjalan, karena sudah tradisi.

Partai Golkar misalnya, sempat pecah dua: antara Golkar Agung Laksono dan Golkar Aburizal Bakrie. Akbar Tandjung sebagai eks Ketua Umum Golkar, tidak mampu mempersatukan kedua blok partai besar ini. Akhirnya, lewat jalur hukum yang zig-zag, Agung Laksono tersingkir. Maka, merapatlah Golkar pimpinan Bakrie ke kubu pemerintahan SBY.

 

PPP mengalami nasib idem ditto. Setelah Suryadharma Ali dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Umum pada 2014, karena terbukti korupsi sewaktu menjabat Menteri Agama, posisinya digantikan oleh Sekjen Romahurmuziy yang kemudian naik jadi Ketua Umum.

Tapi, Romi pun kemudian terjerat kasus suap, meski suap yang diterima tergolong kecil jumlahnya. Setelah Romi jatuh, pengurus DPP terbelah dua lagi.

Pemerintah tentu gembira, jika partai politik yang diragukan kesetiaannya terbelah dua.

Golkar nyaris mengalami nasib sama. Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo, semula memperebutkan kursi Ketua Umum. Bambang tak kuasa membendung arus Airlangga, karena pemerintah Jokowi memang lebih condong ke Menko Perekonomian Nasional ini.

Hanya PDIP yang tetap solid, meski pernah digoyang juga pada sekitar tahun 2007, oleh puluhan kader senior pimpinan Arifin Panigoro.

Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang didirikan sang pembelot hanya berumur jagung, bubar pasca Pemilu 2009.

Pengalaman perpecahan di kalangan parpol inilah yang tampaknya membuat Bu Megawati Soekarnoputri bersikeras untuk tidak mau melepaskan jabatannya, sebagai Ketua Umum PDIP.

PDIP hanya boleh dipimpin oleh politisi yang “punya darah Soekarno”. Ibu Mega jauh-jauh hari pun sudah mempersiapkan puteri kesayangannya, Puan Maharani, untuk duduk di kursi RI-1. Momentum itu diharapkan datang pada Pemilu 2024.

Berita sudah viral ke mana-mana, bahwa Puan hendak dipasangkan dengan Prabowo Subianto. Memang benar Jokowi sudah tidak bisa maju lagi pada Pemilu 2024. Tapi, people power milik Jokowi saat ini, mungkin hingga 2024, masih perkasa.

 

Jika kekuatan rakyat milik Jokowi memberikan dukungan kepada duet Puan-Prabowo, mimpi mereka, peluang kemenangan pasangan ini amat besar.

Itulah sebabnya, Prabowo sebagai politisi cerdik, pagi-pagi sudah menyeberang ke kubu Jokowi. Dari lawan keras, banting setir jadi kawan lengket! Mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya pada 2014 dan 2019 ? Masa bodoh dengan stempel negatif itu.

Ingat, dalam politik, tidak ada kawan abadi. Yang ada hanya kepentingan pribadi. Demi kepentingan pribadi itu, menjilat ludah yang masih basah sekali pun nggak apa-apa, nggak usah merasa malu!

Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra allout mendukung pemerintah Jokowi. Sebaliknya, Jokowi pun – kelihatannya – amat happy karena dapat dukungan kuat Prabowo.

Apakah duet Puan-Prabowo akan berjalan mulus? Belum tentu! Suara miring dari pimpinan sejumlah parpol lain, sayup-sayup sudah terdengar. Mereka memeras otak untuk mencari pasangan alternatif, untuk berkontestasi pada Pemilu 2024.

Kenapa cuma Puan-Prabowo?! Muncullah spekulasi pasangan Anies Baswedan – Susi Pudjiastuti. Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan AHY juga disebut-sebut punya bobot jadi capres atau cawapres. Tapi, lewat partai apa?

UUD 1945 mengamanatkan seseorang yang mau nyapres, harus didukung dan dicalonkan oleh partai politik tertentu. Di luar PDIP, Golkar dan Gerindra. Masih ada beberapa parpol yang punya kekuatan cukup potensial untuk bertanding pada Pilpres 2024. Yaitu Partai Demokrat, PKS, dan PKB.

PAN, meski tergolong kecil suaranya di parlemen, juga punya pengaruh yang tidak boleh dientengkan. Partai Demokrat sebetulnya potensial untuk menantang duet PDIP-Gerindra. Sayang, partai ini dikelola mirip-mirip gaya PDIP: menerapkan “sistem keluarga”.

Orang-orang yang potensial tampaknya kecil peluangnya untuk tampil dan memimpin. Kecuali SBY sebagai founder dan Ketua Umum Partai, AHY, Ibas, bahkan isteri AHY, semua diberikan posisi kunci dalam DPP.

 

Sistem oligarki dalam Demokrat, diam-diam rupanya menimbulkan kekecewaan dan resistensi dari cukup banyak senior partai.

Pertemuan rahasia Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Presiden dan sejumlah senior PD di hotel mewah kawasan Kuningan pada 27 Januari lalu, merupakan kulminasi dari kekecewaan para senior itu.

Kenapa Moeldoko yang tampil ? Kenapa bukan sosok senior yang kuat, yang coba goyang kursi AHY ? Apa tujuan Moeldoko ? Dalam ilmu politik, terdapat “adagium sakti” yang berbunyi: Communication is always intentional.

Sesungguhnya, tidak ada komunikasi yang tanpa tujuan. Ketika kita berkomunikasi dengan siapa pun, kita pasti memiliki maksud atau tujuan tertentu pada komunikan kita. Apa tujuan Moeldoko menerima para senior Partai Demokrat akhir bulan lalu?

Kubu AHY menuding Moeldoko punya ambisi politik, hendak jadikan PD sebagai kendaraan politik untuk nyapres 2024. Berdasarkan “investigasi” yang dilakukan Pengurus PD kepada beberapa kader PD yang ikut dalam pertemuan itu, ada indikasi Moeldoko mendorong digelarnya KLB PD untuk menjatuhkan AHY.

Bagaimana kader-kader yang tinggal di daerah bisa terbang ke Jakarta untuk hadir dalam pertemuan pada 27 Januari 2021? Apa pakai uang tiket sendiri ? Itulah sebabnya AHY gusar dan mencak-mencak di depan jumpa pers.

AHY mengatakan telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta klarifikasi tentang spekulasi ini: spekulasi Moeldoko dan sejumlah pembantu Presiden untuk menjatuhkan AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat.

Saran Penulis: Jokowi HARUS menjawab surat AHY, memberikan klarifikasi.

Jika Moeldoko benar bertemu dengan sejumlah kader senior Partai Demokrat, perbuatannya itu bisa juga dituding sebagai pelanggaran serius terhadap etika politik dan etika pemerintahan! 

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *