Pemerintah Harus Ambisius Kurangi Emisi Karbon –

Jika tak ada yang berubah, akhir abad ini, bumi akan mengalami suhu antara 3 sampai 4 derajat Celsius. Untuk itu, Indonesia juga diminta berkontribusi. Yakni, dengan meningkatkan target lebih ambisius melawan perubahan iklim global.

Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia menyebut, kontribusi nasional Indonesia saat ini, bersama negara-negara lain, tidak cukup membawa bumi bertahan dengan peningkatan suhu global. Targetnya, di bawah 1,5 derajat Celsius.

“Tinggal kita mengikuti apa yang dirancang pemerintah sebagai skenario ambisius pembangunan rendah karbon,” kata Nirarta, dalam diskusi virtual bertajuk “Time for Decisive Action: Kontribusi Indonesia dalam Perjuangan Perubahan Iklim Dunia“, yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Kamis sore (11/2).

Kata dia, saat ini sebenarnya pemerintah sudah tahu, program apa saja yang harus dilakukan. Yang diperlukan adalah, dorongan dan keinginan politik, untuk bersedia melakukannya dengan lebih keras. Sebagai contoh, transisi ke energi terbarukan. “Segera berhenti gunakan batubara,” dia mengingatkan.

Sebelumya, Indonesia meratifikasi Perjanjian Iklim Paris pada 2016. Dengan target penurunan emisi dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) sebesar 29 persen dan 41 persen dengan bantuan pihak internasional.

Direktur Climate Policy Initiative, Tiza Mafira menambahkan, saat ini telah ada regulasi yang baik. Salah satunya, target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025. Menurutnya, target itu sebenarnya cukup ambisius. “Namun belum dibarengi pengurangan energi batubara,” ujar Tiza.

Dia menjelaskan, saat ini angka yang dicapai masih terbilang fluktuatif, antara 9-12 persen. Penyebabnya, karena belum ada rencana yang jelas untuk melepas batubara. Lebih lanjut, kata dia, target bauran EBT terus meningkat. “Tapi batu bara juga meningkat terus,” jelasnya.

Dari pihak legislatif, Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti mengatakan, lembaganya terus mendorong transisi ke EBT. Meski untuk prosesnya saat ini tidak dapat langsung dilakukan peralihan ke sumber energi tersebut. Melainkan dengan pendekatan ramah lingkungan.

Menurutnya, seluruh anggota di komisinya, berkomitmen yang sama untuk merealisasikan transisi energi. Terlebih untuk ekonomi nasional, yang tadinya sangat tergantung pada bahan bakar fosil, menjadi energi yang sifatnya lebih ramah lingkungan.

Komisi VII, kata Esti, saat ini tengah mendorong regulasi berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT. Saat ini, RUU itu telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. “Target kita, Oktober ini sudah bisa selesai dan diketok (disahkan jadi UU),” jelasnya.

 

Sementara pendiri FPCI Dino Patti Djalal menilai, perubahan iklim akan menjadi “malapetaka” bagi manusia, yang akan memberi efek pada setiap segi kehidupan. Untuk mencegahnya, menurut dia, Pemerintah Indonesia harus segera menetapkan target penurunan emisi minimal 50 persen pada 2030. “Dan mencapai kondisi 0 persen pada 2050. Hal itu akan membuat Indonesia menjadi negara “carbon neutral,” ujar Dino.

Eks Wakil Menteri Luar Negeri itu menambahkan, pemerintah juga harus melakukan kebijakan nasional emisi yang transformatif. Yang didukung kebijakan yang terkoordinir dan terukur di berbagai sektor, seperti kehutanan, pertanian, transportasi, dan lain-lain. “Kebijakan tersebut harus dilakukan secara konsisten dan permanen,” katanya.

Menurut Dino, membuat program pembangunan Green Recovery setelah pandemi Covid-19, dapat membuat Indonesia mempunyai peran aktif dalam berbagai rangkaian diplomasi iklim tahunan pada November. Yang akan berpuncak pada perundingan Badan Pelaksana Konvensi Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (Conferences Of Parties/COP PBB) 26 di Glasgow, Skotlandia. “Ini memang ambisius. Tapi sangat bermanfaat,” ujarnya.

 

Emisi Turun

Kepala Misi PBB untuk Program Lingkungan di Indonesia (Chief of Mission United Nations Environmental Programme) Barlev Nico Marhehe mengatakan, pandemi Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh negara menyebabkan emisi karbon dioksida turun cukup signifikan. Angkanya, mencapai 7 persen pada 2020.

Itu disebabkan karena perubahan perilaku masyarakat dunia akibat penerapan karantina wilayah (lockdown), serta pembatasan sosial masyarakat, yang membuat kendaraan hingga pabrik penghasil emisi karbon berkurang mobilitasnya.

Namun menurutunya, sekalipun ada penurunan tujuh persen, itu hanya sebagai kejutan sesaat. Dia bilang, dunia masih tetap mengarah pada situasi akhir dekade ini. Yakni kenaikan suhu sekitar 3-4 derajat Celcius.

Dia menyambut baik inisiatif pemerintah melalui program Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang digagas Bappenas dan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT. Dengan kebijakan tersebut, Barlev berharap, Indonesia dapat menjadi negara yang berkontribusi terhadap upaya melawan perubahan iklim global.

Dalam program LCDI, kata dia, Indonesia punya target penurunan emisi dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional. “Yakni 29 persen dan 41 persen dengan bantuan negara lain di dunia,” ujarnya. [PYB]

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *