Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte tidak terima divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dia menyatakan lebih mati daripada menjalani putusan itu.
“Cukup sudah pelecehan martabat yang saya derita sejak Juli tahun lalu sampai hari ini. Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini,” tegas Napoleon usai mendengar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3).
Napoleon pun memastikan akan mengajukan banding atas putusan itu. Sementara jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan pikir-pikir terhadap putusan tersebut.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, Napoleon terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp 2.145.743.167 dan 370 ribu dolar AS atau sekitar Rp 5.148.180.000 dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiharto Tjandra.
Menurut majelis, suap itu diberikan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Dengan begitu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.
Djoko ke Indonesia untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara terkait kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Hakim berujar, tindak pidana itu dilakukan Napoleon bersama-sama dengan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan pengusaha Tommy Sumardi.
Selain divonis penjara, Napoleon juga ditajuhkan pidana denda Rp 100 juta. Dengan ketentuan, apabila tidak dibayar maka dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan. [BYU]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID