Hanya Abu Hanifah yang pernah ditemukan pendapatnya membolehkan orang-orang Yahudi Nashrani berkunjung ke Masjid Haram. (Wacana ini dapat dilihat di dalam Kitab Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, karya Al-Qurthubi, jilid IV, h. 450.
Kontroversi boleh tidaknya non-muslim melakukan kebaktian di masjid atau di kompleks masjid muncul, karena cerita tersebut di atas tidak didukung oleh hadis atau riwayat yang shahih. Sedangkan Sirah (Buku Tarikh) tidak bisa dijadikan dasar untuk hal-hal yang bersifat hukum, apalagi yang bersifat akidah.
Itulah sebabnya, tidak umum dijumpai pendapat memperbolehkan masjid digunakan sebagai tempat kebaktian oleh umat non-muslim. Kalaupun kenyataan dalam kisah di atas terjadi, dianggap pengecualian karena di dekat Masjid Nabi ketika itu tidak ada gereja, sementara tamu Nabi terdesak oleh waktu.
Ada kalangan ulama mengomentari, bahwa kebaktian yang dilakukan tamu Nabi tidak dilakukan di dalam masjid, tapi di samping masjid, meskipun masih tetap di kompleks masjid.
Kita ketahui, di samping atau di emper masjid Nabi ada sejumlah daerah atau tempat hunian, termasuk pondok Ahl al-Shuffah, yang ditempati sejumlah sahabat Nabi seperti Abi Hurairah. Ada juga tempat khusus untuk tempat menginap para tamu Nabi.
Mungkin di salah satu tempat itulah para tokoh lintas agama itu melakukan kebaktian. Poin penting dalam sejarah di atas, Nabi mengetahui dan mengizinkan tokoh lintas agama melakukan kebaktian di kompleks masjidnya. Allahu a’lam.
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID