Belakangan, dibangun menara masjid dari ketinggian di sudut masjid, terutama untuk menyampaikan azan pada saat waktu shalat fardhu sudah masuk. Di Indonesia, dibantu dengan beduk besar, sebuah tradisi Hindu yang diakomodir oleh para Wali Songo sebagai isyarat informasi kepada umat. Umat bisa memahami berbagai informasi melalui gaya pukulan beduk. Misalnya, bunyi beduk untuk waktu imsak dan waktu shalat subuh berbeda. Akhir tabuhan beduk diakhiri sesuai dengan jumlah rakaat shalat yang diperkenalkan. Misalnya, petanda waktu shalat Magrib diakhiri dengan pukulan 3 kali, shalat Isya 4 kali, subuh 2 kali, Dhuhur dan Ashar masing-masing 4 kali.
Masih ada beberapa fungsi menara masjid Nabi yang lain sebagaimana nanti akan diuraikan dalam artikel khusus.
Masjid sebagai arena pertemuan umat, tidak aneh jika di dalamnya terjadi pertemuan jodoh. Dari masjid, Nabi menyerukan program solidatitas antara muhajir (pengungsi) dan anshar (pribumi) yang disebut dengan program asimilasi (al-ikha’) yakni perkawinan silang antara dua kelompok. Laki-laki muhajirin dikawinkan dengan perempuan anshar, lalu anak-anak mereka kemudian menjadi satu, tanpa ada kesan penduduk lokal dan pendatang. Program al-ikha’ ini menarik untuk dikaji oleh pemerintah agar program transmigrasinya berhasil. Jangan terkesan penduduk transmigrasi mencaplok wilayah dan tanah adat masyarakat setempat.
Kita bisa mengambil pelajaran etnik Arab yang merantau ke Nusantara, mereka terkesan bukan orang asing karena mereka kawin mawin dengan atnik lokal, walaupun untuk kaum perempuan mereka terkadang masih sulit diakses oleh kaum laki-laki pribumi. Bandingkan dengan etnik China, masih lebih terkesan etnik asing karena menghindari kawin mawin dengan penduduk lokal. Mari kita jadikan masjid sebagai lembaga peleburan antar etnik.
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID