Kota dan Budaya Kudeta –

Pernahkah kita merasakan kejenuhan yang luar biasa; kejenuhan yang membuat kita terasa gabut, tidak jelas justrungan, tindakan atau bingung mau melakukan apa. Jika kita mengalami keadaan seperti itu, berarti kita sedang dalam suasana bosan yang luar biasa, yang menuntut kita untuk melakukan sesuatu tindakan yang bisa mengubah secara radikal, sehingga kejenuhan yang melanda bisa berlalu dan kita menjadi bersemangat kembali.

Jika kita tinggal di kota yang keadaannya itu-itu saja; kegiatannya begitu-begitu saja; suasananya stagnan, dan rutinitas harian seperti mesin pembunuh produktivitas, berarti sudah saatnya kota harus diubah secara mendasar, harus direvolusi, dan kemapanan itu harus dikudeta.

Memang, jika keseharian manusia hanya bangun pagi, bersiap kerja, bergulat menyelesaikan pekerjaan, dan kemudian pulang ke rumah, setiap hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, itulah apa yang dikatakan oleh Karl Marx (1818 – 1883), sebagai manusia modern yang telah mengalami alienasi. Alienasi adalah realitas keterasingan manusia yang tidak disadari, karena merasa bahwa yang terjadi adalah hal yang biasa saja.

Bayangkan jika rasa keterasingan terjadi pada agregasi manusia dalam suatu kawasan yang luas, kompleks, dan dinamis. Lalu stagnasi terjadi sedemikian rupa. Kejenuhan individual bertransformasi menjadi kejenuhan massal. Maka selain akan berpotensi menurunkan imunitas sosial, juga mengancam produktivitas. Padahal, kota merupakan ruang produksi paling dinamis dalam kehidupan manusia.

Sehingga dalam konteks inilah kota selalu membutuhkan revolusi dan kudeta. Revolusi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan sebagai “perubahan mendasar dalam suatu bidang”.

Jika revolusi diberi makna tambahan, maka revolusi dalam kota bisa diperluas pada beragam aspek, misalnya: penataan ulang peraturan atau regulasi yang sudah ketinggal zaman dan konteks; penataaan kawasan-kawasan tempat tinggal atau pemukiman, kawasan komersial, dan kawasan terbuka hijau, serta revolusi lain yang tujuannya adalah menghasilkan tatanan sosial budaya baru yang positif.

Sedangkan kudeta dalam KBBI diartikan sebagai “perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa”.

Jika makna kudeta ditransformasi pada kehidupan masyarakat (kota) bisa juga kudeta berarti perebutan wacana lama (yang tidak produktif), diganti dengan wacana baru yang lebih baik. Kudeta dalam politik merupakan pergantian kekuasaan, yang di dalamnya bisa jadi yang berganti atau digantikan mulai dari struktur, tatanan (regulasi) dan bahkan pandangan hidup dan tata nilai.

Sedangkan kudeta dalam tatanan kota adalah perubahan mendasar menyangkut tata kelola perkotaan, mulai dari sistem transportasi, kawasan-kawasan (komersial, pendidikan, pemukiman, dll.), tata drainase, sampah, perpustakaan publik, trotoar dan sebagainya. Semua harus diharmonisasikan, mengikuti kebutuhan masyarakat dan alam agar memenuhi kecukupan keberlanjutan.

 

Dalam bahasa lebih populer, untuk proses ini diperkenalkan dengan istilah “destruksi kreatif” (creative destruction). Destruksi kreatif merupakan metode untuk melakukan pembaharuan terus menerus, tanpa henti, untuk mencapai kesempurnaan, dengan cara menghancurkan yang ada tanpa henti, dan terus menciptakan yang baru. Teori yang diperkenalkan oleh “Nabi Inovasi” Joseph Schumpeter (1883 -1950) ini merupakan satu tawaran bahwa inovasi harus menjadi dasar dinamika suatu entitas.

Mengapa kota-kota perlu dikudeta, direvolusi, dan didestruksi, bukan hanya sekadar direhabilitasi. Ada beberapa alasan penting mengapa hal ini perlu dilakukan. Pertama, agensi pembangunan kota banyak sudah “mati ide”, karena mengelola kota lebih dipandang sebagai urusan politik ketimbang urusan publik atau lingkungan. Akibatnya, visi pembangunan kota diletakkan pada kepentingan politik tersebut, tanpa memedulikan kebutuhan riil dari kota itu sendiri.

Kedua, pelanggaran atas struktur utama kota sudah dianggap biasa. Sehingga segala perencanaan kota, banyak indah di atas kertas, namun hampa pada tataran eksekusi. Perencanaan dan aturan adalah pilar yang bisa memastikan arah dari pembangunan kota. Tanpa keduanya, kota bisa berjalan tanpa arah dan tujuan. Jika sudah demikian, masih layakkah sebuah kota dipertahankan?

Ketiga, hiruk pikuk kota sering direspons menyesuaikan dengan dengungan massa, atau dengan kata lain, kehendak pasar. Akibatnya, banyak hal-hal mendasar dari kota terabaikan demi meredam suara-suara bising tersebut. Sehingga, karena faktor dasar yang tidak diperhatikan itu, kota yang sedang membangun pun, tersela dengan agenda atau aktivitas di luar yang direncanakan.

Oleh karena itu, maka kota-kota harus akrab dengan kudeta, revolusi, dan destruksi. Karena tanpa itu, kota-kota bisa terjebak pada kebasian sosial yang ujung-ujungnya akan menghasilkan kegabutan permanen dan tidak produktif. [*]

[Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Generated by Feedzy