Mengendalikan inflasi memang nggak gampang. Perlu koordinasi erat antara otoritas fiskal dan moneter. Koordinasi yang baik jadi kunci inflasi lebih terjaga dan terkendali.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, inflasi sepanjang tahun 2022 diperkirakan akan mencapai 4,2 persen.
Menurutnya, prediksi inflasi ini sedikit di atas sasaran, namun inflasi inti dan ekspektasi inflasi masih bisa terkendali di kisaran 3 persen plus minus 1 persen. Inflasi tahun 2023 juga diperkirakan di kisaran 3 persen plus minus 1 persen.
“Koordinasi fiskal dan moneter yang erat, tidak berdampak signifikan ke inflasi dalam negeri,” kata Perry dalam seminar bertajuk Managing Inflation to Boost Economic Growth, yang digelar Institute for Development of Economics and Finance di Bali, kemarin.
Perry mengatakan, dalam menyikapi kenaikan harga energi dan pangan, Pemerintah telah mendapat persetujuan dari DPR untuk menaikkan subsidi. Khususnya bagi premium, diesel, listrik, LPG dan meningkatkan bantuan sosial.
Pada tahun ini, BI juga ikut berpartisipasi dalam pembiayaan APBN. Sehingga, Bank Sentral juga ikut membeli SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp 224 triliun untuk pembiayaan biaya kesehatan dan kemanusiaan.
Menurutnya, dana tersebut juga dapat digunakan Pemerintah untuk membiayai pendanaan subsidi.
Dengan upaya tersebut, Perry menilai, Pemerintah mampu meredam dampak dari kenaikan harga energi dan komunitas global terhadap inflasi dalam negeri.
“BI ikut berpartisipasi dalam pembiayaan tahun ini. Sedangkan di fiskal, meningkatkan subsidi, sehingga tidak semua kenaikan harga energi dan komoditas dunia berdampak pada inflasi dalam negeri,” jelasnya.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini menyarankan, agar Indonesia meningkatkan kerja sama global dalam diplomasi ekonomi melalui Kementerian Luar Negeri. Ini penting untuk mengatasi inflasi.
“Sumber dari inflasi saat ini selain masalah kenaikan harga, juga perang Rusia dan Ukraina,” katanya.
Didik menilai, Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 kini diuji, apakah bisa memanfaatkan presidensi sebagai kesempatan untuk membuat resolusi konflik kedua negara.
Kondisi tersebut, kata Didik, terutama karena Indonesia mengimpor pangan dari Ukraina, dan terdapat banyak wisatawan yang datang dari Rusia maupun Ukraina. Jika tak diatasi, dampaknya akan cukup besar ke Tanah Air.
Dalam keanggotaan G20, terdapat negara-negara yang berkaitan dengan perang seperti Rusia dan Amerika Serikat.
Didik berharap, peningkatan kerja sama diplomasi tersebut bisa dilakukan, lantaran perang bisa menjadi sumber petaka ekonomi. Termasuk sosial-politik global, sehingga kenaikan inflasi sebenarnya hanya dampak sebagian kecil.
Inflasi, kata dia, telah menggerus pendapatan rakyat dan memiskinkan golongan rakyat yang paling bawah.
Sebab, masih menurut Didik , tingginya inflasi meningkatkan harga beras ataupun minyak hingga dua kali lipat.
“Daya beli masyarakat dengan level yang sama dengan upah minimum pun akan tergerus. Sehingga masyarakat mengeluarkan uang lebih banyak dan tidak mempunyai tabungan karena tergerus inflasi,” jelasnya. [NOV]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID