Pandemi Covid-19 menjadi pukulan berat bagi media mainstream. Padahal, sebelumnya dan sampai saat ini, media mainstream sedang dihantam keras oleh menjamurnya media sosial. Kendati mendapat pukulan berat dan hantaman keras, media mainstream jangan sampai mati.
Lalu, bagaimana caranya media mainstream bisa tetap hidup? Di sela kesibukannya mengikuti rangkaian acara menuju puncak Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang akan digelar hari ini, di Kendari, Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh berbicara panjang lebar mengenai hal ini. Berikut wawancara lengkapnya:
Apa tantangan terbesar yang dihadapi media massa saat ini?
Saya kira, tantangan terbesar itu adalah kemampuan memahami perubahan. Bukan hanya paham terhadap perubahannya, tapi bisa melakukan perubahan itu. Itu yang paling challenging, menantang.
Karena, kalau tidak melakukan perubahan, ya tidak akan selesai. Sekarang kan kita melakukan transformasi digital. Migrasi, kalau dalam bahasa yang paling simple. Kalau kita nggak mau migrasi, ya selesai. Ditinggal kita. Termasuk munculnya media sosial.
Sekarang banyak YouTuber atau pegiat media sosial berperan seperti jurnalis. Bagaimana sikap Dewan Pers?
Itu realitas. Kenyataannya memang begitu. Yang tadinya informasi itu hanya diproduksi suatu lembaga pers dalam arti organisasi, ada pimrednya, ada penanggung jawabnya, ada wartawan yang tersertifikasi, ada perusahaan pers, dan seterusnya. Itu yang selama ini kita anggap produk jurnalistik. Tapi, sekarang, ada orang per orang yang juga menyajikan seperti yang disajikan perusahaan pers. Ini tantangan dan realitas.
Bagaimana posisi Dewan Pers menanggapi fenomena ini?
Tidak ada salahnya kita melakukan pemikiran baru, karena ini realitas. Apakah kita anggap yang di luar perusahaan pers tidak legal, atau bukan bagian dari Keluarga Pers, atau justru kita ajak mereka semua dengan membuat kamar baru. Yang mau menampung beliau-beliau yang bermain di medsos dan seterusnya.
Kalau tidak, ya akan terjadi simpang siur yang luar biasa. Itu yang menjadi tantangan kita. Sehingga, kamar dari Dewan Pers harus diperluas karena ada penduduk baru. Yaitu, penduduk digital. Sebagai konsekuensi dari transformasi digital yang sekarang gencar-gencarnya dilakukan di masyarakat.
Sudah ada pembahasan ke sana?
Sudah. Tapi belum kita godok.
Lalu, bagaimana mengantisipasi maraknya hoaks di medsos?
Itu sudah sejak dulu. Itu karena tidak adanya pembinaan. Selama ini, mereka bukan bagian dari kita. Karena di Dewan Pers belum ada kamarnya. Sehingga ini bagian yang berkembang secara mandiri di masyarakat.
Selain itu, saran saya, masyarakat harus semakin cerdas. Sehingga bisa melakukan self censoring, atau self filtering. Kalau masyarakat sudah mampu melakukan self censoring, mereka tidak sembarang ambil berita. Dengan kondisi ini, hoaks akan jadi sampah dengan sendirinya.
Tapi, kalau masyarakatnya belum bisa melakukan atau belum punya kompetensi atau kemampuan self censoring, ya mereka bisa termakan informasi yang sesat dan menyesatkan. Akhirnya, mereka bisa terkontaminasi.
Jadi, saya kira paralel. Teman-teman penggerak media sosial juga kita imbau jangan mengeluarkan bledug yang sesat-menyesatkan. Kapasitas masyarakat pun harus ditingkatkan untuk melakukan self censoring.
Mengenai tingkat kesejahteraan dan kemerdekaan pers, bagaimana perkembangannya?
Indeks kemerdekaan pers, alhamdulillah terus menerus meningkat. Setiap tahunnya kita ukur melalui indeks kemerdekaan pers. Tetapi kan tidak serta merta dengan indeks itu selesai.
Mengenai kesejahteraan, kita sama-sama tahu, tidak hanya jurnalis, perusahaannya juga kena imbas akibat pandemi ini. Kita harus sama-sama saling memahami. Semuanya berada di masa sulit.
Tapi, sekali lagi, informasi nggak boleh berhenti. Oleh karena itu, alhamdulillah meskipun berat, dengan segala macam ikhtiar, masih bisa bertahan. Meskipun ada juga yang meninggal perusahaannya. Karena itu, tema-tema kita adalah yang terkait dengan sustainability, keberlangsungan media dalam suasana pandemi ini.
Kalau di internal Dewan Pers, seperti apa?
Semua tahu, bahwa kita dalam dua tahun terakhir ini mengalami pandemi. Sehingga perubahan harus kita lakukan. Roda organisasi ini kan nggak boleh berhenti. Maka, the way-nya itu harus berubah.
Hal apa yang harus diubah?
Yang tadinya itu kita mengelola organisasi dengan cara face to face, fisik, sekarang ada yang sudah masuk ke wilayah cyber. Oleh karena itu, harus kita manfaatkan, bagaimana caranya organisasi tetap jalan. Kita harus melakukan perubahan atau mengubah diri, yang tadinya mengelola secara physical space, sekarang harus memanfaatkan cyber space.
Dewan Pers cukup adaptif dengan perubahan ini?
Alhamdulillah, semuanya sudah bisa berjalan dengan baik, karena semua melakukan perubahan itu. Dari situ pulalah tema besar pada beberapa waktu lalu sebelum Covid, yaitu transformasi digital itu semakin urgent.
Sebab, memang pada saat yang seperti ini, layanan yang bisa kita lakukan adalah layanan yang berbasis digital, atau elektronik services. Dewan Pers pun, mau nggak mau dan alhamdulillah jauh sebelum Covid kita sudah mencanangkan transformasi digital. Lainnya berjalan normal, misalnya aduan selalu ada. Prinsipnya semua bisa diselesaikan secara baik.
Pengaduan semasa pandemi naik atau turun?
Karena lalu lintas informasi semakin kuat, potensi pelanggaran pun semakin kuat pula. Aduan pun semakin meningkat. Oleh karena itu, cara penyelesaian pun berubah. Kalau pakai metode lama, tak cukup untuk mengelolanya.
Seperti apa metode barunya?
Perlu semacam machine learning itu. Kalau ada aduan kan bisa kita pelajari. Aduan yang paling banyak seperti apa sih dan seterusnya. Tugas kami kan mediasi. Antara yang mengadukan dengan yang diadukan.
Kalau itu sudah ketemu formulanya, rumusnya, maka akan cepat. Kalau ada persoalan baru, itu yang perlu perhatian khusus. Kalau yang sudah rutin, bisa belajar dari waktu yang lalu.
Machine learning sudah jalan?
Masih persiapan. Tapi, meskipun belum memakai machine learning, kita bisa mempelajari, kalau kasusnya begini jawabannya ini. Kalau sudah banyak kasusnya, yang sama. Sehingga kita hanya memikirkan kasus yang khusus kalau masalahnya baru.
Misalnya, dulu kasusnya A, jawabannya X. Maka, kalau sekarang kasusnya A, bisa jadi jawabannya juga X. Ngapain susah-susah. Intinya yang penting antara yang diadukan dengan pengadunya itu bisa saling memahami. [SAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID