Kekurangan Zat Besi Bikin Anak Nggak Konsentrasi Belajar –

Kekurangan zat besi adalah kondisi ketika kadar ketersediaan zat besi dalam tubuh lebih sedikit dari kebutuhan harian. Kekurangan zat besi, khususnya pada anak, memiliki dampak jangka panjang.

Dijelaskan Ahli Gizi Ibu dan Anak Sandra Fikawati, zat besi adalah salah satu mikronutrien atau sering juga dikenal sebagai vitamin dan mineral yang sangat penting untuk mendukung kemampuan belajar anak.

Misalnya, gangguan pada perkembangan kognitif, motorik, sensorik serta perilaku dan emosi. 

“Terlebih, saat anak memasuki usia sekolah, kekurangan zat besi akan berdampak pada kurangnya konsentrasi saat belajar, ketidakmampuan belajar hingga perkembangan yang tertunda,” jelas Sandra. 

Menurut dia, jutaan anak mengalami pertumbuhan terhambat, keterlambatan kognitif, kekebalan yang lemah dan penyakit akibat defisiensi zat besi. 

Padahal, anak usia prasekolah membutuhkan dukungan lingkungan yang baik, terutama dukungan gizi seimbang.

Sehingga orangtua, menurutnya, harus mengetahui kebutuhan gizi, cara pemenuhannya, serta upaya perbaikan gizinya. Jika orangtua tidak waspada, dampaknya akan diketahui saat sudah terlambat.

“Meski seorang anak mungkin terlihat kenyang, bisa jadi tubuhnya tengah kelaparan akibat kekurangan zat gizi mikro,” tambah Sandra.

Dokumen WHO menyatakan, ada bukti kuat melalui penelitian bahwa kekurangan zat besi menunda perkembangan psikomotor dan mengganggu kinerja kognitif anak prasekolah dan anak usia sekolah di Mesir, India, Indonesia, Thailand dan Amerika Serikat.

Diperkirakan, 30-80 persen anak di negara berkembang, mengalami kekurangan zat besi pada usia 1 tahun. Anak-anak ini akan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif maupun psikomotor.

Ketika mereka mencapai usia sekolah, mereka akan mengalami gangguan kinerja dalam tes bahasa keterampilan, keterampilan motorik, dan koordinasi. Setara dengan defisit 5 hingga 10 poin dalam IQ.

Sementara, data Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) menunjukkan, 1 dari 3 anak balita  Indonesia mengalami anemia. Data lain menunjukkan, lebih dari 40 persen anak balita di negara berkembang menderita anemia ,dan 50-60 persen kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.

Penyebab kekurangan zat besi paling banyak disebabkan oleh pola makan tidak seimbang dan adanya gangguan proses penyerapan zat besi.

“Kekurangan mikronutrien memang sering disebut sebagai ‘kelaparan tersembunyi’ karena dampaknya tidak akan langsung terlihat, namun berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu,” jelas Sandra.

Khususnya zat besi, mikronutrien ini berfungsi untuk mengantarkan oksigen ke paru-paru untuk digunakan ke bagian tubuh lainnya.

Maka dari itu, orangtua perlu memperhatikan konsumsi zat besi maupun mikronutrien lainnya yang dibutuhkan untuk membantu penyerapan zat besi yang optimal, seperti Vitamin C.

Menurut Sandra, ketika anak sudah berusia 1 tahun ke atas dan bisa mengonsumsi makanan rumah, orangtua perlu memastikan konsumsi makanan yang mengandung zat besi secara teratur. 

“Zat besi bisa ditemukan pada daging sapi dan ayam, hati, telur, kacang-kacangan, ikan, dan sayuran,” katanya.

Tidak hanya itu, orangtua juga perlu memastikan konsumsi makanan sumber vitamin C untuk mendukung penyerapan zat besi. Kombinasi zat besi dengan vitamin C juga dapat ditemukan pada makanan dan minuman terfortifikasi zat besi dan vitamin C, seperti susu pertumbuhan untuk anak di atas 1 tahun.

“Danone Specialized Nutrition (SN) Indonesia mengajak orangtua untuk memberikan perhatian khusus dalam memastikan kebutuhan harian gizi anak, termasuk zat besi, telah terpenuhi dan terserap dengan baik,” ujar Corporate Communications Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin.

Danone Specialized Nutrition Indonesia juga menyediakan platform daring untuk melakukan tes risiko terjadinya kekurangan zat besi anak melalui fitur di dalam situs www.generasimaju.co.id.

“Fitur ini diharapkan dapat membantu orangtua mendeteksi kekurangan zat besi pada anak sejak dini dan bagaimana stimulasi yang perlu dilakukan agar dapat mendukung mereka menjadi generasi maju,” jelas Arif.

Sementara, Ketua Umum Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini (HIMPAUDI) Netti Herawati mengatakan, proses belajar seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Proses belajar mengajar pada anak usia dini, hendaknya tidak terganggu oleh berbagai masalah, termasuk kendala kesehatan. 

Menurutnya, orangtua dan pendidik harus saling mendukung dalam proses belajar anak, termasuk dalam pendidikan dasar seperti PAUD. 

“Kami selalu meminta agar orangtua memperbatikan asupan bergizi di rumah, untuk mendukung proses belajarnya agar bisa menyerap ilmu dengan optimal,” jelas Netti. [MER]

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RMCO.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *