Kasus Deposito Raib Di Makassar BNI Minta Polisi Telusuri Kemungkinan Unsur TPPU –

PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk melalui Kuasa Hukum Ronny LD Janis membeberkan beberapa fakta terbaru, terkait perkembangan kasus raibnya dana deposito nasabah di Kantor Cabang (KC) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Ronny menyebut, transaksi deposito dalam kasus perbankan tersebut tak ubahnya seperti benang kusut.

Karena itu, ia meminta tolong pihak kepolisian, untuk mengungkap kemungkinan adanya unsur TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang).

“Sekarang, backingbacking-an sudah nggak zaman. Ini ada framing, seolah-olah BNI nggak bertanggung jawab. Padahal, itu tidak benar. Kita kena getahnya aja. Ngapain kita harus bayar wong uang (depositonya) juga nggak ada di bank,” jelas Ronny dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/9).

Sejak awal, BNI menilai kasus ini memiliki kejanggalan. Karena bilyet deposito yang diajukan atau ingin diklaim, tidak memenuhi standar.

Bentuknya saja, hanya berupa hasil scan (print scanned) di kertas biasa. Bukan layaknya blanko deposito.

Nomor seri sama, tanda tangan tidak dikenal alias bukan dari pihak yang berwenang. Selain itu, juga tak ada sama sekali dana di rekening deposito tersebut.

“Jadi, bagaimana kami mau cairkan, kalau itu bilyet palsu dan tidak ada uangnya. Kalau tetap kami cairkan, kami justru bisa kena Tipikor (tindak pidana korupsi-Red). Dalam sistem perbankan, khususnya deposito, tidak ada yang seperti ini,” jelas Ronny.

Pihak BNI, tegasnya, hanya bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Laporan gugatan yang diajukan BNI ini, juga merupakan bentuk upaya melindungi kepentingan nasabah.

“Saat ini, kami juga sedang mem-push penyidik, untuk segera mengungkapkan kasus ini. Supaya isunya tidak melebar,” papar Ronny.

“Segera ungkap saja, siapa saja yang terlibat. Siapa yang berperan dan menerima manfaat dari transaksi ini. Kalau TPPU ini kan sistemnya follow the money. Nggak mungkin, uang hanya muter-muter di situ saja. Pasti ada yang mengambil keuntungan,” tandasnya.

Ronny menuturkan, sistem yang sudah bagus sekalipun, masih bisa ditembus jika ada orang dalam yang berperan.

Dalam kasus ini, seorang pegawai bernama Melati Bunga Sombe (MBS), sudah menjadi tersangka. Dia diduga bekerja sama dengan pihak luar.

“Kami sedangkan siapkan pasal-pasalnya. Makanya, kami pakai juga Undang-Undang TPPU. Banyak kejanggalannya. Biar penyidik yang melakukan investigasi,” tuturnya.

 

“Posisi BNI sangat tersudutkan. Kami memang belum mengalami kerugian secara materi. Namun, nama baik bank dan kepercayaan masyarakat itu tak ada nilainya. Di satu sisi, kami juga mengerti arti kehilangan yang dirasakan nasabah. Untuk itu, kami menghargai gugatan HDK. Supaya bisa diketahui kepastian hukumnya,” lanjut Ronny.

Banyak Kejanggalan

Pada kesempatan yang sama, Wakil Pemimpin Divisi Hukum BNI Sandy Dwinanto menyatakan, BNI menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

Sandy pun menceritakan kronologi kasus tersebut. Menurutnya, kasus ini bermula pada awal Februari 2021, ketika datang dua orang berinisial RY dan AN ke BNI Kantor Cabang Makassar, dengan membawa 2 bilyet deposito bertanggal 29 Januari 2021, dengan nilai mencapai Rp 50 miliar.

Namun, petugas di lapangan yang melakukan pendeteksian secara kasat mata, langsung melihat ada keanehan. Cetakannya bukan blanko asli, dengan tanda tangan tak dikenal. Serta nomor seri atas nama dua orang suami istri, tetapi serinya sama.

“Begitu dicek sistem, ternyata tak tercatat. Sehingga, kami tidak melakukan pembayaran,” urai Sandy.

Awal Maret 2021 mereka datang lagi. Kali ini, utusan IMB membawa 3 bilyet deposito dengan total Rp 40 miliar atas nama PT AAU, PT NB dan IMB.

Ketika diperiksa, kembali terdapat kejanggalan. Nomor seri kurang (tidak lengkap), tanda tangan tak dikenal.

Pada tanggal 1 Maret 2021, ketika dicek di sistem, tak ada dana dalam rekening deposito tersebut. Sehingga tak bisa dicairkan.

Selang beberapa hari di bulan yang sama, mereka datang lagi membawa 4 bilyet. Rinciannya, 3 atas nama HDK dan 1 atas nama sendiri HPT dengan nilai total Rp 20,1 miliar. Setelah dicek, dananya juga tidak ada di rekening.

“Kami lihat, nomor serinya masih sama dengan bilyet yang pertama kali datang. Tapi kali ini, buram di lembaran bilyetnya. Orang yang ketiga, nomor bilyetnya sama dengan yang pertama datang pada Februari,” jelas Sandy lagi.

Kemudian, pihak BNI mendengar laporan bahwa bilyet pertama senilai Rp 50 miliar sudah dibayarkan pegawainya yang bernama MBS.

Hal ini justru semakin menunjukkan bahwa transaksi ini tidak diketahui, dan tidak melibatkan perusahaan atau BNI.

“Orang pertama klaim, dibayar oleh MBS. Ada kesamaan, ketiganya diterima oleh Saudari MBS. Inilah yang melatarbelakangi BNI melaporkan hal tersebut ke Mabes Polri. Supaya tak ada korban lain. Kalau dibiarkan, tentu berbahaya,” tegas Sandy. [DWI]

 

]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Generated by Feedzy