Ada dua skenario untuk menyelamatkan dunia dari serangan Covid-19. Pertama, skenario optimistis yakni kita tetap hidup berdampingan dengan si Covid. Akan tetapi daya serang virus tersebut melemah karena program vaksin berhasil. Sedangkan skenario kedua adalah pesimistis atau skenario buruk. Situasi di mana pandemi susah dikendalikan karena mutasi virus kebal terhadap vaksin. Akibatnya kematian massal akan terjadi. Lockdown wilayah akan terus diberlakukan sehingga bencana ekonomi tidak bisa dihindari. Perilaku saling menyalahkan akibat disfungsi politik terjadi di mana-mana. Dengan tidak berfungsinya tatanan politik maka demokrasi terganggu. Maka muncullah krisis epistemologis di mana kemampuan untuk membedakan hal baik dan buruk sering terjadi.
“Inilah yang terjadi saat ini, Mo. Mencuatnya isu kudeta politik,” celetuk Petruk cengengesan. Romo Semar tidak peduli dengan isu kudeta partai politik. Romo Semar sedang galau dengan pandemi yang tidak terkendali. Bencana alam termasuk banjir datang silih berganti. Belum lagi pemulihan ekonomi yang semakin jauh dari harapan. Kopi pahit dan jadah bakar dibiarkan merana di atas lincak teras belakang. Kepulan asap rokok klobot membawa ingatan Romo Semar ke tahun 1215 di mana isu kudeta merebak di kalangan elite penguasa Tumapel.
Kocap kacarito, Akuwu Tunggul Ametung sempat ragu untuk menerima anak muda yang dibawa oleh Dang Hyang Lohgawe, brahmana berpengaruh di Lereng Gunung Kawi. Anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun yang bernama Arok diterima sebagai tamtama di negeri Tumapel yang saat itu di bawah pemerintahan Tunggul Ametung. Anak muda cerdas ahli sastra, strategi, dan politik itu dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Pemerintahan Tumapel di bawah perlindungan Raja Kediri Sri Kertajaya. Pemerintahan Kertajaya tidak bersahabat dengan para brahmana. Sehingga timbul perlawanan dari kelompok brahmana. Termasuk Tunggul Ametung tidak didukung oleh para brahmana. Puncaknya saat Sang Akuwu Tumapel mengambil paksa Ken Dedes anak Empu Parwa untuk dijadikan istrinya.
Ken Arok memerlukan waktu sekitar lima tahun untuk bisa merebut kekuasaan Tumapel dari Tunggul Ametung. Arok cerdas dalam membaca strategi. Kebencian kaum brahmana dimanfaatkan sebagai modal untuk melawan rezim Tunggul Ametung. Melalui Ken Dedes, rencana merebut singgasana Tumapel berjalan mulus. Pandangan pertama Arok dan Dedes telah meluluhkan hati kedua sijoli yang sedang dimabuk asmara. Walaupun Ken Dedes telah hamil dua bulan sebagai istri Tunggul Ametung tidak menyurutkan Arok untuk mencintai Dedes. Justru kecantikan seorang wanita terpancar saat wanita sedang hamil muda. Itulah yang terjadi antara Arok dan Dedes. Di bawah rindangnya pohon Mlinjo di taman larangan, Dedes dan Arok bersumpah janji untuk hidup semati.
Rencana Ken Arok tidak semulus yang diharapkan. Faksi lain yang dipimpin Empu Gandring dan Kebo Ijo berencana merebut kekuasaan Tumapel. Empu Gandring sebagai pengusaha emas dan suplai senjata sangat berpengaruh di Tumapel. Empu Gandring memanfaatkan Kebo Ijo sebagai operator lapangan untuk melakukan kudeta. Dengan harapan kelak bisnis senjata dan emas bertambah besar jika kekuasaan dipegang Empu Gandring dan Kebo Ijo.
Arok tidak tinggal diam melihat gerakan Empu Gandring dan Kebo Ijo. Dengan memanfaatkan kedekatannya dengan Ken Dedes, justru keduanya diadu domba. Ken Arok membuat skenario seolah Tunggul Ametung menjadi korban gerakan Kebo dan Empu Gandring.
“Ken Arok memang cerdas. Bukan saja tahta yang didapat, wanita dan harta pun didapat,” sela Petruk membuyarkan lamunan Romo Semar. “Betul, Tole. Orang kalau sudah kewahyon tidak usah repot-repot melakukan kudeta untuk menjadi ratu,” papar Semar. Jangan pernah pengin atau mempunyai keinginan untuk menjadi ratu. Karena sifat ingin adalah perbuatan yang didorong oleh nafsu. Manusia yang memiliki hawa nafsu serakah akan dijauhi oleh wahyui ratu. Oye
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID