Wacana hukuman mati bagi koruptor kembali mengemuka. Ditambah lagi, dengan pernyataan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang mengaku siap dihukum mati atau hukuman yang lebih berat dari itu.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti menilai, hukuman mati untuk koruptor tidak akan berdampak yang positif. “Fakta-fakta penggunaan hukuman mati sebenarnya tidak pernah efektif dan tidak ada juga efek jera yang ditimbulkan,” katanya.
Fatia menerangkan, penerapan hukuman mati untuk koruptor, tidak sejalan dengan semangat mengubah hukuman mati menjadi hukuman alternatif lain di KUHP.
Di saat bersamaan, Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022, seharusnya juga segera melakukan moratorium hukuman mati. Pasalnya, sebagian besar anggota Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan PBB telah menghapuskan hukuman mati dalam konstitusi mereka.
Sementara Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengingatkan, hukuman mati sangat tidak manusiawi dan terbukti tidak bikin jera. Menurutnya, hukuman yang lebih tepat bagi koruptor adalah penjara seumur hidup.
“Dalam pandangan HAM Amnesty International, hukuman mati untuk kejahatan apapun, dalam keadaan dan cara apapun, itu hukuman yang tidak manusiawi,” sebutnya.
Usman menegaskan, hukuman mati terbukti tak efektif dan sudah usang. “Lihat saja negara-negara yang tidak memiliki hukuman mati. Apakah kejahatannya tinggi seperti di Indonesia? Tidak,” ucapnya.
Beberapa pakar hukum di dunia juga sudah mencari alternatif selain hukuman mati. Misalnya, dengan memiskinkan pelaku korupsi. Lalu muncul perdebatan, di mana memiskinkan pelaku akan sama saja dengan meminta mengembalikan uang yang yang telah dikorupsi, bukannya menghukum.
Usman mengusulkan, agar pemerintah segera memformulasikan hukuman yang benar-benar tepat dan efektif. “Hukuman seumur hidup, misalnya. Hukum seberat-beratnya, tapi tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang,” tandasnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu menilai, hukuman mati untuk para koruptor hanya jadi alat politik. Wacana itu kerap muncul untuk menutupi kerja yang tidak maksimal dan kegagalan sistem. “Perlu diingat rekam jejak di Indonesia memberlakukan hukuman mati, hanya sebagai alat politik dan kampanye popularitas,” ujarnya.
Erasmus juga mengungkapkan, 10 negara terbaik dalam penanganan kasus korupsi ternyata tidak menerapkan hukuman mati. Di antaranya Denmark, New Zealand, Finlandia dan Singapura.
Dalam penelitian yang dilakukan Jiangnan Zhu pada 2012 ditunjukkan, hukuman mati yang dijatuhkan terhadap koruptor di China hanyalah menurunkan frekuensi investigasi korupsi dibanding frekuensi korupsi yang terjadi.
Meski ancaman pidana korupsi di China sangat berat, kasus-kasus yang melibatkan pemain besar, pejabat dengan kekuasaan, maupun sekelompok pejabat, justru semakin banyak terungkap.
“Solusinya, pemerintah harus memperbaiki sistemnya. Perkuat pengawasan, dan kejar uang yang telah dikorupsi itu. Mana saja yang terlibat, hingga akarnya. Lalu, ungkap ke masyarakat. Hukuman mati bukan jawaban dan memang tidak pernah,” tegas Erasmus. [OSP]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID
You may also like
-
Meriahkan HUT Ke 50 RI Korsel GBK Pecah Fans K Pop Berbatik Heboh Nonton SMTOWN Live 2023 –
-
Dinar Candy Selingkuhan Pria Beristri –
-
Bernostalgia Fryda Lucyana Hadirkan S gala Rasa Cinta Di Digital Platform –
-
Suga BTS Jalani Wamil Di Layanan Publik BigHit Minta Fans Nggak Ngerecokin –
-
Marshella Aprilia Galau Ditinggal Nikah Arhan –