Penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 di perairan Kepulauan Seribu, awal Januari lalu, mulai menemui titik terang. Berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) diketahui, pesawat kehilangan daya dorong alias loyo lantaran tuas pengatur tenaga mesin di sebelah kiri bergerak mundur saat pesawat akan menambah ketinggian. Pesawat pun mengalami turbulensi dan jatuh.
Laporan investigasi ini disampaikan Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo, dalam konferensi pers secara virtual, kemarin. Turut hadir Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dan Tenaga Ahli KNKT Kapten Prita Wijaya.
Laporan awal yang disusun KNKT ini berdasarkan salah satu bagian kotak hitam yang berisi data rekaman penerbangan (Flight Data Recorder/FDR), laporan cuaca dari BMKG, dan data rekaman percakapan antara pilot dan petugas air traffic controller (ATC) Bandara Soekarno-Hatta. KNKT tak sendiri melakukan investigasi ini. Tapi dibantu pihak National Transportation Safety Board Amerika sebagai negara tempat pesawat udara dibuat dan Transport Safety Investigation Bureau (TSIB) Singapura sebagai negara yang memberikan bantuan selama proses investigasi.
Laporan yang disampaikan KNKT secara detail. Menggambarkan detik-detik saat pesawat tinggal landas di Bandara Soekarno-Hatta, berbelok, sampai kemudian hilang kontak di perairan Kepulauan Seribu.
Nurcahyo mengatakan, pesawat yang akan menuju Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, itu berangkat dari Soekarno-Hatta pukul 14.36 WIB. Tak ada masalah dengan jalur penerbangan. Data dari BMKG diketahui, jalur penerbangan tidak melewati awan hujan. Juga tidak melewati awan yang menyebabkan guncangan.
Setelah tinggal landas, pesawat kemudian mengikuti jalur penerbangan yang diberi nama ABASA 2D. Pesawat memasuki ketinggian sekitar 1.980 kaki di atas permukaan laut atau sekira 600 meter. Sistem autopilot kemudian aktif. Pesawat terus menambah ketinggian sampai 8.150 kaki atau 2.480 meter. Nah, saat itu throttle atau tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri bergerak mundur dan tenaga mesin atau putaran mesin ikut berkurang.
Throttle itu semacam pedal gas di mobil. Di pesawat, letaknya berada di tengah kokpit antara kursi pilot dan kopilot, karena dioperasikan oleh keduanya.
Dua menit setelah pesawat mengudara, pilot meminta kepada pengatur lalu lintas udara atau ATC untuk berbelok ke arah 75 derajat dan diizinkan. Tetapi, karena dikhawatirkan berpapasan dengan pesawat lain, ATC meminta Sriwijaya Air SJ182 berhenti naik di ketinggian 11 ribu kaki.
Kemudian, pukul 14.39 WIB detik ke-57, tuas kiri kembali bergerak mundur saat pesawat melewati ketinggian 10.600 kaki. Sedangkan tuas kanan pesawat dalam posisi tetap. Hal ini menyebabkan pesawat mulai terlihat berbelok ke kiri.
ATC kemudian memberi instruksi untuk naik ke ketinggian 13 ribu kaki. Pilot sempat menjawabnya pada pukul 14.39.59 WIB. “Ini adalah komunikasi terakhir yang terekam di rekaman komunikasi pilot di ATC Bandara Soekarno-Hatta,” kata Nurcahyo.
Pada pukul 14.40 WIB detik ke-5, FDR merekam ketinggian SJ182 pada 10.900 kaki. Di sini, pesawat mulai turun, autopilot tidak aktif dan tuas mesin sebelah kiri berkurang. “Arah pesawat di 0,16 derajat, sikap pesawat pada posisi naik atau pitch up, pesawat miring atau roll ke kiri,” ungkapnya. Saat itu, tuas pengatur tenaga mesin sebelah kiri berkurang, sedangkan yang kanan tetap.
FDR mencatat, aktivitas terakhir pesawat pada pukul 14.40.10 WIB. Saat itu, autothrottle mulai tidak aktif dan pesawat dalam keadaan menunduk. “Sekitar 20 detik kemudian, flight data recorder mulai berhenti merekam,” ucapnya.
Nurcahyo mengaku masih belum dapat memastikan penyebab kerusakan autothrottle. Dia menyebut, tuas itu terkait dengan 13 komponen lain di pesawat. “Masalahnya di mana, saat ini kami belum bisa menentukan,” kata dia.
Dari hasil investigasi, KNKT kemudian menemukan adanya dua kerusakan pesawat yang ditunda perbaikannya (Deferred Maintenance Item/DMI) sejak 25 Desember 2020. Pertama, pada 25 Desember 2020 ditemukan penunjuk kecepatan atau march/speed indicator pada sisi kanan rusa. Meski ada penundaan perbaikan, pesawat tetap bisa terbang kala itu. Pasalnya, penundaan tersebut masuk ke dalam kategori C, yang artinya boleh sampai batas waktu 10 hari. “Tanggal 4 Januari 2021, indicator akhirnya diganti dan hasilnya bagus sehingga DMI ditutup,” tuturnya.
Kedua, adanya laporan pilot bahwa autothrottle tidak berfungsi. Itu terjadi pada 3 Januari. Namun, hal itu sudah diperbaiki dan hasilnya bagus. Nurcahyo melanjutnya, hingga 9 Januari 2021, tidak ditemukan lagi catatan penundaan perbaikan pesawat Sriwijaya SJ182.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan, untuk mengetahui penyebab pasti perlu data CVR. Tanpa data CVR, badan investigasi keselamatan tak bisa memberikan kesimpulan ilmiah. Ia berharap, pencarian CVR terus dilanjutkan. “Sepanjang sanggup bisa dilakukan dibantu dengan Kemenhub, Basarnas, kami akan terus mencari hingga ketemu,” ujarnya. [BCG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID