Di tengah kabar baik melandainya kasus Corona, ada kabar lain yang juga bikin rakyat senang. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin berjanji akan menurunkan harga tes polymerase chain reaction (PCR), sedangkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani akan menggratiskan biaya tes antigen mulai 18 Agustus nanti. Semoga kebijakan ini bisa meringankan beban rakyat, juga membuat testing dan tracing sebagai jurus menaklukkan Corona, gencar dilakukan.
Tingginya harga tes PCR yang menembus Rp 900 ribu hingga Rp 2 juta sebenarnya sudah disorot sejak tahun lalu. Namun, dua hari ini, masalah ini kembali disorot setelah India yang sukses menekan laju penularan Corona di negaranya, juga ikut memangkas jauh harga tes PCR mandiri untuk warganya. Untuk sekali tes, warga negeri Bollywood itu cukup merogoh kocek sekitar 500 rupee atau sekitar Rp 100 ribuan.
Sejumlah pihak lantas membanding-bandingkan tes PCR di Indonesia dengan beberapa negara lain, termasuk di India yang harganya sangat jomplang. Desakan agar pemerintah menurunkan harga tes PCR pun rame disuarakan.
Menanggapi hal itu, Menkes langsung gerap cepat. Eks bankir ini memastikan, pihaknya segera menghitung kembali berapa sebenarnya harga tes PCR. Sehingga, dalam waktu dekat, harga tes PCR bakal turun.
“Tapi, yang jelas harga tes PCR segera kita turunkan. Kita turunkan secara bertahap. Mengenai berapa harga yang pasti, masih dihitung. Berapa harga reagennya sekarang, berapa harga test kitnya?” ujar BGS, begitu Menkes disapa, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Meskipun harga tes PCR akan turun, eks Wakil Menteri BUMN ini menyebut, harga tes PCR di sini tidak serendah harga tes di India. Namun, harga tes PCR yang baru nanti, tetap masih murah dibanding negara-negara lain.
Sebelumnya, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, saat ini tes PCR di Indonesia masih terkendala karena impor. Sementara di India, tes PCR diproduksi dalam negeri.
“Tes PCR kita masih impor, termasuk bahan bakunya,” ungkap Siti.
Benarkah India produksi PCR sendiri? Kemarin, Rakyat Merdeka coba mengkonfirmasi juru bicara Kedutaan Besar Republik Indonesia di India, Hanafi Athena. Sayangnya, kewenangan Hanafi terbatas soal kondisi WNI di Negeri Bollywood. Ia hanya memberikan sedikit petunjuk. “Mungkin karena produksi lokal,” katanya, sembari mengirim tautan link berita Business Standard.
Isi beritanya seperti ini. Pabrik di India mampu memproduksi sekitar 34,8 juta alat tes PCR dalam sebulan. Hasil ini membuat pemerintah di sana pede melakukan testing 1,135 juta per hari. Selain itu, Menkes India, Ashwini Choubey menyebut Organisasi Pengawas dan Standardisasi Obat India (CDSCO) memberikan izin pembuatan alat tes PCR kepada 30 perusahaan dan lisensi impor kepada 119 perusahaan.
Bagaimana dengan negara lain? Ternyata, harga tes PCR tertinggi berada di Kansai, Jepang. Harga tes PCR di salah satu kota terbesar di negeri Sakura itu, mencapai Rp 5,8 juta. Di posisi kedua, ada di Kota Helsinki, Finlandia yang mencapai Rp 4,5 juta. Ketiga, di Stockholm, Swedia sebesar Rp 4,1 juta.
Selanjutnya, tes PCR yang cukup tinggi ada di San Fransisco, Kalifornia sebesar Rp 3,7 juta. Di Kota New York, Amerika Serikat, tes PCR dibanderol Rp 2,5 juta. Diikuti Copenhagen, Denmark yang berkisar Rp 2,2 juta. Di bawahnya ada di Zurich, Swiss dengan harga Rp 2,1 juta.
Di beberapa kota besar, seperti Amsterdam, London, Los Angeles, tes PCR ada di kisaran Rp 1,2 juta sampai Rp 2 juta. Sementara di Asia, seperti Singapura, mematok PCR di harga Rp 1,7 juta. Sedangkan di Seoul, Korea, tes PCR berada di harga Rp 1 jutaan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Tjanjdra Yoga Aditama mengatakan, perbandingan harga tes PCR dengan India, sebenarnya bukan hal yang baru. Prof Tjanjra yang pernah menjadi peneliti WHO untuk Asia Tenggara dan berkantor di India ini, membagikan kisahnya selama tinggal di negeri Bollywood tersebut.
“Pada September 2020 ketika saya akan pulang ke Jakarta dari New Delhi, saya melakukan tes PCR sebelum terbang, petugasnya datang ke rumah saya dan biayanya 2.400 rupee, atau Rp 480.000. Waktu itu, tarif tes PCR di negara kita masih sekitar lebih dari 1 juta rupiah,” tutur Prof Tjandra.
Pada November 2020, lanjut Prof Tjandra, pemerintah kota New Delhi menetapkan harga baru yang jauh lebih rendah lagi, hanya 1200 rupee atau Rp 240.000. Harga ini turun separuhnya dari bulan September 2020. Kemudian turun lagi di harga 800 rupee atau sekitar Rp Rp 160.000 untuk pemeriksaan di laboratorium dan RS swasta.
Pada awal Agustus 2021 ini, kata Prof Tjandra, pemerintah kota New Delhi menurunkan lagi patokan tarifnya, menjadi 500 rupee, atau Rp 100 ribu saja. “Kalau pemeriksaannya dilakukan di rumah klien, maka tarifnya adalah 700 rupee, atau Rp 140 ribu rupiah. Sementara itu tarif pemeriksaan rapid antigen adalah 300 rupee atau Rp 60 ribu rupiah,” jelasnya.
Kenapa di India lebih murah? Kata dia, ada banyak alasannya. Pertama, ada subsidi dari pemerintah setempat. Mengingat tes PCR sebagai bagian penanggulangan pandemi. “Kalau harga tes lebih murah, maka jumlah tes di negara kita juga dapat lebih banyak sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat,” bebernya.
Selain itu, ada juga faktor fasilitas keringanan pajak. Banyak juga dibicarakan tentang lebih murahnya bahan baku untuk industri. Ada juga yang menyebut, karena faktor ketersediaan tenaga kerja yang besar jumlahnya.
“Semua kemungkinan ini perlu dianalisa lebih lanjut. Tetapi yang jelas, selain tarif PCR, harga obat-obatan di India juga amat murah bila dibandingkan dengan Indonesia,” tuturnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta pemerintah transparan soal penetapan biaya pokok tes PCR, termasuk biaya tenaga medis, dan keuntungannya. Caranya, bisa melalui audit harga. Dengan begitu, harga yang didapat lebih transparan, akuntabel, dan fair.
Soal murahnya harga tes PCR, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena berharap, pemerintah bisa meniru India. Karena harga tes yang murah dapat membantu upaya testing dan tracing untuk menangani pandemi.
Wakil Ketua Komisi IX DPR lainnya, Nihayatul Wafiroh sepakat harga PCR diturunkan. Karena saat ini harganya sangat mahal.
“Berapa turunnya, tentu pemerintah punya formulanya,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris menilai harga tes PCR di sini memberatkan. “Saya minta harganya segera diturunkan,” kata Charles.
Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan, seharusnya Indonesia bisa menyediakan harga tes PCR di angka Rp 80-90 ribu.
Antigen Gratis
Bukan hanya harga PCR yang bakal turun, tes antingen yang selama ini lebih banyak dipilih pun, berpotensi digratiskan. Lewat pesan singkat, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengirimkan isi Peraturan Menteri Keuangan 104/2021, tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) uji validitas rapid diagnostic test antigen yang dilaksanakan laboratorium lingkup Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat ditetapkan sampai dengan Rp 0 atau 0 persen.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 PP 69/2020, dalam hal tertentu tarif atas jenis PNBP yang berasal dari pelayanan karena tarif bersifat volatil, dapat diatur dengan peraturan menteri,” bunyi salah satu pertimbangan dalam PMK 104/2021.
Sesuai dengan ketentuan, uji validitas tes antigen yang dilaksanakan laboratorium lingkup Kemenkes dikenakan tarif Rp 694 ribu per tes. Namun, dengan pertimbangan tertentu, tarif dapat ditetapkan Rp 0 atau 0 persen. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, tata cara, dan persyaratan pengenaan tarif PNBP hingga Rp 0 atau 0 persen dengan pertimbangan tertentu tersebut, masih akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Besaran, tata cara, dan persyaratan pengenaan tarif uji validitas rapid tes antigen hingga Rp 0 atau 0 persen harus mendapatkan persetujuan dari Menkeu sebelum diterapkan. “Seluruh PNBP yang berasal dari layanan uji validitas rapid diagnostic test antigen pada Kemenkes disetor ke kas negara,” bunyi Pasal 4 PMK yang diundangkan pada 3 Agustus 2021 tersebut.
Adapun PMK ini berlaku setelah 15 hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Adapun ketentuan mengenai laboratorium yang ditunjuk sebagai penguji validitas rapid diagnostic test antigen telah tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/477/2021. [MEN]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID