Kedua hadis di atas terkesan Nabi membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Namun jika disimak dan didalami konteksnya, justru Nabi memberikan peluang kaum perempuan menjadi pemimpin, jika ia mengupayakan kemampuan diri menjalankan fungsi kepemimpinan itu.
Hal ini bisa dipahami, bahwa Nabi seolah dalam kapasitasnya sebagai pengamat politik yang tahu akibat yang akan terjadi manakala kepemimpinan diberikan kepada orang yang tidak siap.
Bukan karena perempuan, tetapi karena ketidaksiapan putri Raja Kisra Persia mengemban amanat berat itu. Apalagi, Nabi tahu persis jika musuh bebuyutannya Romawi Byzantium sedang berada di puncak kekuatan saat itu.
Seandainya Nabi tegas menolak perempuan menjadi pemimpin maka redaksinya mungkin bukan menggunakan kata seperti di dalam hadis di atas. Nabi tahu peran seorang Khadijah di dalam memimpin perusahaannya ketika ia masih di Mekah.
Nabi tidak pernah memberikan pembatasan kepada isterinya untuk beraktifitas di dunia publik. Nabi bahkan tunduk di bawah inisiatif isterinya untuk mengendalikan perusahaan yang sekian lama ia geluti.
Memang ada ayat yang seolah memberikan dukungan terhadap teks hadis di atas, yaitu: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisa’/4:34).
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai implementasi ayat-ayat di atas. Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Alasannya, karena ayat ini menggunakan kata: bi ma faddhalahum ‘alaihinna atau bi tafdhilihim ‘alaihin.
Maksudnya, sebagaimana kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan, tetapi menggunakan kata: bima faddhalallah ba’dhahum ‘ala ba’dh, yakni sebagaimana Allah berikan di antara mereka di atas sebagian yang lain.
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID