Diskrepansi Data Berpotensi Lahirkan Kebijakan Tak Efektif –

<p>Data memiliki peran penting dalam suatu kementerian/lembaga. Penghimpunan data yang berbeda seringkali menimbulkan kebingungan di publik.</p>

<p>Situasi yang sering disebut diskrepansi ini, memiliki potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah.</p>

<p>Multitafsir terhadap data yang berbeda-beda berpotensi memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif. Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS).</p>

<p>Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes.</p>

<p>Sebaliknya, Kemenkes menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.</p>

<p>Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora menjelaskan, mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data.</p>

<p>&ldquo;Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,&rdquo; ungkap Ahmad dalam keterangannya, dikutip Kamis (1/12).</p>

<p>Ahmad menambahkan perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun. Terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023.</p>

<p>Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Nur Rohim Yunus menilai, diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.</p>

<p>&ldquo;Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya di Kementerian Kesehatan,&rdquo; timpal Nur Rohim.</p>

<p>Menurut hematnya, Kementerian terkait semestinya merujuk pada data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara seperti diwajibkan oleh undang-undang.</p>

<p>Namun, ia mengamati bahwa sekarang justru mengambil data dari lembaga asing sebagai rujukan. Nur Rohim berpandangan bahwa hal ini malah memperparah diskrepansi data yang ada. Selain itu juga memunculkan kesan bahwa BPS terpinggirkan oleh lembaga asing.</p>

<div style=”page-break-after: always”><span style=”display: none;”>&nbsp;</span></div>

<p>Ia melanjutkan, pemerintah sejatinya juga telah berupaya mengentaskan tantangan diskrepansi data antar kementerian/lembaga ini via penerbitan Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI).</p>

<p>Beleid ini mendorong kementerian/lembaga sebagai produsen data untuk mengacu standar data yang disusun BPS. BPS juga perlu menjadi leading sector untuk mewujudkan data statistik yang berkualitas sebagai basis referensi kebijakan pemerintah.</p>

<p>Perlu adanya upaya mewujudkan Visi Satu Data Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 39 Tahun 2019.</p>

<p>Bila Visi SDI ini dapat terwujud dengan baik, maka tidak akan terjadi lagi diskrepansi karena data yang diambil oleh berbagai pihak berdasarkan pada sumber yang sama.</p>

<p>&quot;Tentunya data yang dirujuk harus akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan,&rdquo; sambung Nur Rohim. ■</p> . Sumber : Berita Lifestyle, Kuliner, Travel, Kesehatan, Tips

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Generated by Feedzy