Pemerintah sudah menegaskan, tidak ikut cawe-cawe terhadap wacana penundaan pemilu. Jadi, partai politik yang kencang menyuarakannya bakal mendapat sanksi dari rakyat. Minimal, dianggap otoriter.
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani meminta publik tak ikut menggoreng pernyataan Presiden Jokowi soal penundaan pemilu, yang menegaskan akan ikut konstitusi.
“Jangan dimaknai bahwa pernyataan Presiden kok tidak tegas. Kalau kemudian kekuatan parpol yang ada mendengarkan aspirasi mayoritas, tapi tidak berdasarkan survei yang ada, konstitusinya itu tetap, ya tidak berubah pemilunya,” kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan.
Sementara Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, Achmad Baidowi menegaskan, polemik wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tak perlu diteruskan. Apalagi jelas, usulan ini tidak datang dari Presiden Jokowi seperti yang disangkakan banyak pihak.
Menurutnya, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mempertegas bahwa wacana ini bukan datang dari pemerintah. “Berarti sudah clear. Presiden Jokowi tak perlu diseret-seret,” kata Awiek dalam keterangannya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dikatakan, wacana penundaan pemilu memang hanya disampaikan elit-elit partai politik. “Wacana ini aspirasi yang disampaikan parpol, kolega dan kawan-kawan saya. Kalau hanya aspirasi ya boleh-boleh saja dalam ruang demokrasi. Berbeda pendapat dan beda pendapat itu hal yang biasa saja,” kata Awiek.
Sebelumnya, sejumlah ketua umum parpol melempar isu penundaan Pemilu 2024. Mereka adalah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar; Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan; dan Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto.
Salah satu alasan mereka saat ini kondisi negara tengah pemulihan ekonomi imbas pandemi. Muhaimin ingin Pemilu 2024 ditunda satu sampai dua tahun. Zulhas menyinggung elektabilitas Jokowi tinggi sehingga dia berpikir Jokowi masih bisa menjabat setelah 2024.
Sementara Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengingatkan, ada efek elektoral bagi parpol yang menolak maupun mendukung wacana ini.
Menurutnya, parpol yang ngotot memperpanjang masa jabatan presiden dianggap publik partai otoriter. Sementara yang menolak, dianggap partai demokratis.
“Parpol yang mendukung pasti negatif sentimennya di mata publik. Citranya memburuk. Yang menolak, tentu baik. Artinya, sedikit banyak berpengaruh dan menganggu elektabilitas. Tentu harus kita buktikan dari hasil survei nantinya, supaya lebih terukur,” kata Pangi kepada Rakyat Merdeka kemarin.
Dosen Universitas Bung Karno, Jakarta itu menilai, wacana penundaan pemilu keluar secara sistematis dengan beruntunnya statemen para ketua umum partai koalisi seperti Golkar, PKB dan PAN. Namun, legitimasi rakyat adalah daya tahan rezim berkuasa. Artinya, jika kehilangan legitimasi, tidak akan ada rezim yang dapat bertahan.
“Mengabaikan suara rakyat adalah alarm bagi pemerintah dan juga partai politik. Jangan sampai terjadi kemunduran demokrasi,” sindirnya.
Diungkapkan, Hasil survei Voxpol Center Research and Consulting Juli 2021 jauh-jauh hari berhasil memotret fenomena penolakan masyarakat dengan wacana yang dinilainya testing the water ini. Ada 73,7 persen responden menjawab tidak setuju penambahan masa jabatan presiden.
Dari 73,7 persen yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden, sebesar 34,4 persen menilai kemunduran demokrasi, 28,2 persen menilai regenerasi kepemimpinan mandeg, sebesar 9,9 persen untuk menghindari KKN dan oligarki, sebesar 8,7 persen tidak mau menjadi pengkhianat demokrasi, dan sebesar 4,6 persen menilai wacana ini ingin menjebak presiden.
“Sentimen publik terhadap partai yang mendukung wacana ini tercermin dalam survei itu. Yang mendukung, segeralah meralat dan menolaknya. Memang, berkuasa adalah candu, akan tetapi jauh lebih berkelas mengakhiri masa jabatan presiden dengan happy ending,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menyatakan tetap taat konstitusi. Bahkan sampai dua kali mantan Wali Kota Solo itu menyebut taat pada konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945. Meski demikian, Jokowi menyatakan, usulan penundaan pemilu tidak bisa dilarang. “Karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat,” katanya.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, Presiden Jokowi berkali-kali menekankan kepada pejabat negara, termasuk dirinya agar betul-betul mempersiapkan semua instrumen yang diperlukan untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
“Di tubuh pemerintah sendiri tidak pernah ada pembahasan tentang penundaan pemilu maupun penambahan masa jabatan presiden atau wakil presiden baik untuk menjadi tiga periode maupun untuk memperpanjang 1 atau 2 tahun,” tandas Menko Polhukam saat jumpa pers, Senin (7/3).
Presiden Jokowi saat memimpin Rapat Kabinet pada 14 September 2021 dan 27 September 2021 justru memerintahkan jajarannya untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan aman, lancar, dan tidak memboroskan anggaran. “Dengan demikian sikap Presiden sudah Jelas tentang jadwal penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024,” tegas Mahfud. [FAQ]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID
You may also like
-
Amanda Manopo Keseret Gosip Cerai Arya Anne –
-
Meriahkan HUT Ke 50 RI Korsel GBK Pecah Fans K Pop Berbatik Heboh Nonton SMTOWN Live 2023 –
-
Dinar Candy Selingkuhan Pria Beristri –
-
Bernostalgia Fryda Lucyana Hadirkan S gala Rasa Cinta Di Digital Platform –
-
Suga BTS Jalani Wamil Di Layanan Publik BigHit Minta Fans Nggak Ngerecokin –