Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sinyal akan memperpanjang program restrukturisasi kredit. Salah satu alasannya, dampak buruk perekonomian global mampir ke Tanah Air.
Program restrukturisasi kredit awalnya disiapkan hingga Maret 2021. Tapi, diperpanjang hingga Maret 2023. OJK mengeluarkan aturan soal restrukturisasi kredit pada Maret 2020, melalui Peraturan OJK atau POJK 11/POJK.03/2020, tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19.
Kepala Komite Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Dian Ediana Rae menilai, saat ini belum semua sektor ekonomi pulih dari pandemi. Banyak pelaku usaha menuntut wasit perbankan itu kembali memperpanjang program restrukturisasi.
Ditambah lagi, saat ini situasi ekonomi pasca pandemi masih penuh ketidakpastian. Salah satunya, invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak ke sektor keuangan, pangan dan energi. Nah, kata Dian, salah satu tugas OJK adalah mengatasi dampak-dampak buruk ekonomi global mampir ke Tanah Air.
“Saat ini restrukturisasi kredit perbankan sudah hampir pasti diperpanjang. Tapi kami tidak akan cross the border,” kata Dian dalam Focus Group Discussion (FGD) OJK dengan media di Bandung, Jawa Barat (Jabar), Sabtu (24/9).
Mantan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) ini menjelaskan, pihaknya tidak akan memberikan restrukturisasi secara pukul rata, melainkan dengan sejumlah syarat. Nanti akan dipilih sektor mana saja yang belum pulih dari pandemi. Lalu, akan dipertimbangkan profil debitur, sektor industri, dan aspek geografi kewilayahan.
Dian mencontohkan Bali yang tingkat pemulihan ekonominya masih jauh tertinggal dibanding wilayah lain di Indonesia. Menurutnya, perekonomian Pulau Dewata yang ditopang oleh sektor pariwisata belum benar-benar pulih. Hal ini berdampak pada sektor lain seperti perdagangan, pertanian dan perindustrian.
“Dampak pandemi Covid-19 ini belum selesai. Sekarang malah diperburuk dengan kondisi geopolitik global yang chaos. Sehingga belum bisa dipastikan kalau restrukturisasi tidak akan diperpanjang,” katannya.
Di saat yang bersamaan, sambung Dian, OJK bersama Pemerintah harus menyiapkan transisi ekonomi dari kondisi pasca pandemi ke kondisi normal. Karena bagaimana pun harus ada transisi yang disiapkan supaya tidak ada scaring effect.
Berdasarkan data OJK, nilai kredit yang direstrukturisasi oleh perbankan per Juli 2022 masih sebesar Rp 560,41 triliun. Atau sebesar 40 persen dari kredit yang direstrukturisasi. Jumlah itu jauh menurun dibandingkan posisi tertinggi nilai kredit yang direstrukturisasi pada Agustus 2020 sebesar Rp 830,47 triliun.
Terkait hal tersebut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mendukung keputusan OJK. Sebab, menurutnya, restrukturisasi kredit dibutuhkan pada masa-masa krisis dan masa pemulihan ekonomi.
Diakui Piter, saat ini masa krisis sudah mampu dilewati Indonesia. Tetapi ekonomi belum sepenuhnya pulih dan masih dibayangi ketidakpastian global.
“Untuk mendukung pemulihan ekonomi dan berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian global, memang sebaiknya kelonggaran restrukturisasi kredit diperpanjang hingga 2024, sebagaimana dengan syarat yang dimaksud OJK,” kata Piter kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Tak hanya itu, jika restrukturisasi terus diperpanjang, maka yang diuntungkan adalah perekonomian nasional. “Karena memberikan ruang pemulihan yang lebih panjang,” tukasnya.
Piter menegaskan, dengan memperpanjang restrukturisasi, artinya ada kelonggarannya.
Industri Siap
Salah satu bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mengaku siap menghadapi normalisasi kebijakan restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 tahun depan.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan, evaluasi terus dilakukan perseroan guna mengetahui kondisi kredit yang mengikuti program restrukturisasi terdampak pandemi.
“Kami sudah siap jika program restrukturisasi OJK diperpanjang atau tidak diperpanjang,” kata Siddik dalam Public Expose Live 2022, Kamis (15/9).
Ia meyakini, keputusan penghentian atau diperpanjangnya kebijakan restrukturisasi kredit terdampak pandemi Covid-19 tidak akan mengganggu kinerja keuangan perseroan.
Hingga semester I-2022 atau per Juni 2022, nilai kredit yang mengikuti program restrukturisasi kredit terdampak pandemi terus menurun, atau sebesar Rp 58,2 triliun, lebih rendah sekitar Rp 40 triliun dari level tertinggi Rp 98 triliun.
“Dari jumlah itu, sebagian besar debitur sudah kembali normal, sebagian sudah lunas, sudah bayar. Dan, sisanya sudah tidak dalam restructuring program,” ungkapnya.
Senada, Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Lani Darmawan mengatakan, hingga jelang kuartal III-2022, semua portofolio kredit yang diberikan stimulus restrukturisasi semakin kecil atau di bawah 4 persen di luar ritel. Di mana untuk nasabah ritel adalah nol persen, alias sudah tidak memanfaatkan restrukturisasi.
“Kami sudah siap jika ada portofolio nasabah yang perlu diperpanjang. Dan kami setuju dengan apapun keputusan OJK memperpanjang restrukturisasi, yang sifatnya targeted seperti Bali,” ucapnya saat ditemui Rakyat Merdeka, Minggu (25/9). ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID