Tak kenal maka tak sayang. Mungkin itu pepatah yang bisa menggambarkan gimana caranya anak muda alias milenial era digital 4.0, kenal dengan aksara Nusantara. Sedih rasanya, kalau era modern ini justru aksara Nusantara tak tahu siapa pemiliknya.
Aksara milik Indonesia bisa dibilang menjadi salah satu warisan budaya yang memang perlu dilestarikan. Bahasa jadi salah satu ciri khas suatu bangsa dikenal di dunia. Di dalamnya ada aksara yang nggak bisa dipisahkan.
Jadi semua ini bermula dari project membuat sebuah feature soal aksara Nusantara. Sampai akhirnya saya melihat dari perspektif lain. Yaitu bagaimana aksara Nusantara ini bisa tetap dikenal oleh generasi muda.
Suatu sore sehabis hujan, saya memutuskan olahraga ringan demi menjaga imun di masa pandemi ini. Saat lari-lari kecil di taman di kawasan Jakarta Barat, tak sengaja mata ini melihat kaos yang dikenakan pasangan muda mudi, dengan ejaan aksara Jawa.
Dalam hati bergumam, penulisan aksara di kaos adalah ide cemerlang supaya warisan budaya leluhur bisa tampil luas di muka umum.
Jadi penasaran. Saya mencoba cari tahu lewat media sosial, seberapa banyak sih pebisnis kaos dengan tulisan aksara ini. Di Instagram, hanya ada lima akun online shop yang masih aktif menjual kaos bertuliskan aksara. Sisanya bisa sampai puluhan, yang cuma bikin akun terus ditinggalkan begitu saja. Padahal jumlah follower-nya sudah lumayan banyak.
Sebenarnya saya terkejut saat tahu kalau masih ada pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), khususnya segmen fesyen, yang tertarik membuat desain berbau aksara jadul. Mulai dari aksara Jawa, Sunda, sampai aksara Bali. Norak ya!
Salah satu pelakunya adalah Fira (22), mahasiswa Universitas Dr Soetomo, Surabaya (Jawa Timur). Saya kemudian meminta Fira untuk cerita kepada Rakyat Merdeka, bagaimana membangun brand kaos bertajuk Sub.Aksara. Usaha yang masih seumur jagung, atau tepatnya lahir di Desember 2020 ini telah mendapat tempat di hati penggemarnya.
Mengusung tema custom dan desain aksara yang dipadukan dengan motif lainnya sesuai keinginan si klien, Fira bersama sang pacar mencoba memperkenalkan aksara Jawa lewat media kaos. Selain karena ia sedikit paham seputar aksara Jawa, ia juga ingin hidup mandiri dengan usaha yang dirintisnya.
“Sebenarnya saya juga masih belajar buat padanan aksara yang benar. Karena kalau secara font bisa gampang dibuat. Cuma kan tetap aja sulit, karena ada rumus-rumusnya supaya pelafalan aksara ini benar sesuai kaidahnya,” curhat perempuan dengan aksen Suroboyoan yang khas ini.
Melalui medium kaos beraksara, Fira mencoba mengingatkan, bahwa ada warisan budaya yang mesti dilestarikan bersama. Usaha yang dia bangun bukan melulu soal untung, tapi bagaimana ia bisa berkontribusi, khususnya bagi tanah kelahirannya.
“Harapannya sih bukan hanya generasi seumuran saya bisa lebih peduli lagi, tapi kita semua punya tanggung jawab yang sama. Aksara bukan sekadar tulisan Jawa berbentuk visual, tapi juga ada spiritnya,” ucap Fira.
Masih di Tanah Jawa, ada juga Himawan Setio Wibisono (24). Anak muda lainnya yang memiliki basis usaha di Semarang. Sejak Juni 2020, Himawan bersama adiknya mencoba mengaplikasikan pembelajaran aksara semasa ia di bangku sekolah dulu.
Ia cukup bersyukur, karena di Semarang tempat ia tinggal, sudah banyak anak mudanya yang aware soal aksara. Bahkan ketika mereka merantau di daerah lain, tetap bangga menggunakan bahasa daerahnya, dan menulis chat dengan aksara Jawa.
Pemuda kelahiran Wonogiri, Solo (Jawa Tengah) ini bahkan sudah memikirkan visi jangka panjang dari usaha Kaoskata.aksara yang dirintisnya. Ia ingin bagaimana membuat aksara Jawa ini lebih booming di kalangan anak muda, bukan hanya di kawasan Jawa Tengah.
“Saya mulai ini di Semarang, saya juga berencana mau endorse beberapa kawan influencer di Semarang yang follower-nya sudah puluhan bahkan ratusan ribu. Karena efek sosial media ini sangat cepat. Jadi saya nggak cuma mau jualan, tapi harus ada edukasi dari aksara Jawa ini,” katanya kepada Rakyat Merdeka.
Ia pun percaya, dengan konsep yang ia buat setidaknya menjadikan usahanya berbeda, alias antimainstream dengan kebanyakan kompetitor kaos serupa. Ia yakin, usaha yang dibangun dari hati dan memiliki misi luhur, pasti akan melahirkan hasil yang baik.
Menurut Himawan, aksara Jawa ini memiliki bentuk sangat unik dan menarik. Saking tertariknya dengan aksara jadul itu, ia sudah bisa menghapalnya saat SD dan SMP. Sehingga dia tidak membutuhkan usaha jeras saat kembali mencoba mengingat dan belajar lagi, bagaimana urutan-urutannya seperti Honocoroko Dotosowolo Podojoyono.
“Buat saya pribadi, ini sesuatu yang unik. Tapi kalau belum kenal susah untuk cinta. Itu kenapa mengenal dulu baru bisa menyelami,” pesannya.
Tak cukup dari dua milenial pelaku usaha sekaligus pecinta aksara, satu lagi kawan saya dari Tabanan, Bali juga bercerita bagaimana ia cinta dengan aksara Bali. Devi Kurnia (38), memiliki suami berkewarganegaraan Prancis dan memiliki satu orang putri. Dia tak ingin melihat anaknya tumbuh tanpa mengenal warisan tanah leluhurnya, salah satunya aksara Bali.
Awalnya, Devi hanya berpikir ingin membuat sesuatu ciri khas yang bisa mereka kenakan ketika suatu hari hijrah ikut sang Suami ke Prancis. Kebetulan ayahnya memiliki usaha garmen, sehingga tekad Devi membuat kaos untuk keluarga kecilnya dengan desain aksara Bali pun terwujud.
Namun lambat laun ketika berkunjung ke Prancis, keluarga, kolega sang suami justru jatuh cinta dengan ornamen dan bentuk dari aksara Bali. Akhirnya Devi memutuskan untuk memproduksi lebih banyak kaos aksara Bali yang ia buat.
“Jadi sekarang kalau pulang kampung ke negara suami, ya oleh-olehnya kaos aksara Bali dengan berbagai macam motif dan padanan kata ini. Mereka suka banget, sampai komentar, oh ada yang tulisan seperti ini di Indonesia. Saya bilang itulah Indonesia yang unik,” cerita Devi kepada Rakyat Merdeka.
Memiliki impian untuk lebih banyak lagi masyarakat Bali serta para wisatawan, terutama asing, mengenal lebih dekat dengan aksara Bali, maka Devi dan adiknya memutuskan berbisnis kaos aksara Bali. Seiring waktu, peminat kaos aksara Bali buatannya kian banyak. Devi memperluas usahanya dengan membuat kaos aksara Bali berbahan serat bambu agar lebih ramah lingkungan.
Dalam membuat desain aksara Bali, ia juga dibantu oleh teman-teman yang memang mengajarkan aksara Bali. Hal ini dilakukan agar tak terjadi kekeliruan dalam penulisan aksara di kaos buatannya. “Sekaligus menjadi pengingat bagi saya sendiri, adik dan teman-teman untuk terus belajar terkait aksara Bali ini. Karena di Bali sejak SD sampai SMA juga diajarkan, tapi kan suka lupa-lupa ingat..hehehe,” imbuhnya.
Di Bali, sambung dia, penggunaan aksara Bali cukup kental. Hal ini lantaran didukung oleh Gubernur Bali, yang membuat aturan daerah seputar penggunaan aksara Bali. Secara tidak langsung, ini menjadi support tersendiri bagi usahanya.
Dilarang Asal Tempel
Apa yang dilakukan oleh Fira, Himawan serta Devi ini memang bisa dibilang inovatif. Terutama dalam upaya pelestarian aksara Nusantara di tengah persaingan era digital. Lantas apakah upaya mereka termasuk kategori monetizing kebudayaan? Yang hanya memiliki dampak positif bagi segelintir orang.
Pertanyaan ini yang membuka diskusi ringan Rakyat merdeka dengan alah satu praktisi dan Tipografer Aksara Daerah Indonesia, Aditya Bayu Perdana.
Dia berpendapat, me-monetizing aksara lewat merchandise, misalnya kaos, adalah hal yang sah-sah saja. Bahkan sebenarnya, upaya ketiga anak muda tersebut perlu diapresiasi. Sebab, di satu sisi mereka mengenalkan aksara lewat kaos, dan di sisi lain ketiganya juga meraih manfaat atau keuntungan dari apa yang mereka jual.
Terkadang, kata pria yang kerap dipanggil Abay ini, agar sesuatu itu mudah diterima, memang perlu dikemas secara apik. Kalau aksara lebih indah atau divisualisasikan tak lazim, terutama pada pakaian, merchandise dan lainnya, mengapa tidak?
“Jika indah, lalu membuat penasaran orang lain yang melihatnya, akhirnya kan mereka mencari tahu dan belajar hingga jatuh cinta pada aksara. Ibarat orang kalau sudah jatuh cinta, apapun bisa dilakukan,” ujarnya.
Namun, lanjut Abay, ia lebih menyoroti bagaimana aksara Nusantara diimplementasi secara cermat dalam media tersebut. Baik dari sisi pelafalan maupun ejaannya. Karena kalau salah penulisan, bisa menjadi salah arti. Karena aksara Nusantara memiliki pakemnya sendiri.
“Kalau bicara digitalisasi, dalam konteksnya sudah ada font dan software khusus aksara tertentu, saya rasa itu belum cukup. Mengapa? Karena praktiknya banyak aksara yang beredar saat ini cuma asal tempel dari font yang ada di keyboard, tanpa dikroscek kembali pelafalannya secara benar,” kritiknya.
Intinya, kata Abay, buat mereka yang ingin serius belajar soal aksara, harus ada semacam rasa kerendahan hati dan keinginan bertanya dan menggali ke orang yang ahli. “Kroscek, forum, komunitas sudah banyak tersedia. Menulis aksara memang agak tricky. Bahasa Inggris misalnya. Ketika diterjemahin ke aksara bagaimana pengucapannya, bukan sebagai tulisannya saja. Kadang pengucapan beda dengan tulisan,” jelas dia.
Diakui Abay, penggunaan font yang bentuknya terbatas, kerap kali itu-itu saja huruf yang ditonjolkan. Sehingga terkesan aksara adalah sesuatu yang tidak menarik membosankan. Padahal banyak kendala-kendala mengapa aksara Nusantara belum masif dikenal masyarakat.
Pertama, tidak ada tempat pasti masyarakat untuk bertanya. Sehingga mereka ambil jalan pintas, yakni langsung memakai aplikasi font aksara. Masyarakat tidak tahu kalau apa yang dia tulis itu salah. Kedua, tanpa kroscek ke ahli atau orang yang lebih paham, membuat penulisan aksara tidak optimal. Ketiga, kalau pun sudah bertanya dengan ahli, tapi bisa saja penulisannya cenderung membosankan.
“Karena itu-itu saja. Sehingga menurut tampilan visual tidak menarik dan optimal. Aksara kita memang belum sampai pada level variasi yang punya banyak pilihan,” imbuhnya.
Sekarang, penggunaan aksara memang mulai meningkat pasca tahun 2000-an. Namun masih tergantung dari pengguna masing-masing jenis aksaranya. Di Bali, ada peraturan gubernur yang mendukung penggunaan aksara. Di mana basis penulisan aksara di sana lebih kuat dibanding daerah lain.
Sementara penggunaan aksara di Jawa lebih kepada komunitas. Banyak komunitas aksara digital Jawa yang muncul, dan mereka mengaplikasikannya sehari-hari dalam bentuk chat WhastApp dan lainnya.
“Sekarang bagaimana perkembangan aksara ini dikawal baik, bisa tetap berinovasi dengan berbagai gaya tulisan namun sesuai pakem. Kita bisa tiru Filipina dengan aksara daerahnya Baybayin, di mana pelestariannya dimulai dari kalangan grassroot,” jelasnya.
Di sana, desainer-desainer grafis muda memicu dengan mendesain Baybayin sekreatif mungkin. Dan aplikasinya sebanyak huruf latin, tanpa menyalahi aturan dan spirit dari Baybayin. Yang kemudian populer dipakai anak muda dan bisa diterapkan secara nasional.
“Tanpa menghilangkan basic aksara itu sendiri, saya rasa akan lebih baik. Masalahnya apakah pemerintah punya taste soal itu? Dan balik lagi ke selera pada akhirnya,” pungkas Abay mengakhiri diskusi singkat dengan Rakyat Merdeka. [DWI]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID