Pemerintah sebaiknya melakukan amandemen Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 28 Tahun 2007). Ini untuk memperkuat payung hukum implementasi pajak digital dan demi kepatuhan pajak.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengungkapkan, UU tersebut tidak melihat badan usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk pemungutan pajak di Indonesia.
Jika UU tersebut tidak diamandemen kata dia, bisa menjadi masalah dalam kasus-kasus kepatuhan pajak di masa yang akan datang.
“Kewajiban pajak perlu diakui dalam Undang-undang jika pihak yang tidak menjalankan kewajibannya tersebut akan dikenakan sanksi. Oleh karena itu pemerintah perlu mengkonsiderasi amandemen atas Undang-undang tersebut,” kata Pingkan dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (21/5/2021).
Selain itu, perlu adanya pembagian wewenang antar institusi yang jelas terkait implementasi pajak digital.
Kebijakan perpajakan Indonesia umumnya tetap menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pajak konvensional yang sulit diterapkan dalam ranah ekonomi digital.
“Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan, penalti untuk pemungut PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang tidak patuh termasuk pemutusan akses operasional oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Namun tidak ada peraturan lebih lanjut tentang implementasi aturan tersebut oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” imbuhnya.
Terakhir, perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dan efektif. Hal ini tentu membutuhkan dialog antara pemerintah dan swasta atau Public-Private Dialogue (PPD) dengan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan secara luas.
Cara tersebut akan membantu menyediakan kepastian hukum untuk subjek pajak dan pemungut PPN. Proses ini juga akan membantu membangun kepercayaan dan menjembatani jarak antara Kemenkeu dan pelaku usaha.
Selain itu, cara ini juga akan membantu Kemenkeu beradaptasi dengan model bisnis digital yang kerap kali berubah sesuai dengan perkembangan sektor digital.
“Ekonomi digital terus bergerak dinamis dan hal ini perlu direspon oleh regulasi yang juga responsif dan mampu menjawab permasalahan yang muncul,” jelas Pingkan.
Ia mengidentifikasi tiga hal yang menjadi tantangan implementasi kebijakan perpajakan digital untuk Indonesia.
Yang pertama adalah, untuk PSE lingkup privat yang menjadi sasaran wajib pajak untuk PPh nantinya dihadapkan pada situasi yang tidak menentu, karena masih ada ketidakpastian dalam menentukan proporsi keuntungan usaha yang didapat di Indonesia dan bagaimana membagi hak pengenaan pajaknya dengan pihak berwenang di negara asal perusahaan tersebut.
Kedua, kewajiban PPN juga membutuhkan sistem yang berfungsi dengan baik untuk memungut, melaporkan, dan membayar PPN.
Kalau tidak, lanjut Pingkan, Indonesia bisa mengalami apa yang terjadi di Uni Eropa, kesulitan muncul akibat rendahnya kepatuhan dan kurangnya penegakkan pelaksanaan.
Sementara itu, PMK Nomor 48 Tahun 2020 tidak mengatur prosedur penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus ketidakpatuhan.
Ketiga adalah mengenai regulasi yang tumpang tindih. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 dan tata cara pelaksanaannya dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020 merumuskan persyaratan bagi Penyelenggara Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) asing untuk membuka Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A) di Indonesia.
Akan tetapi, ketentuan ambang batas minimum 1.000 transaksi per tahun tidak sesuai dengan kriteria yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yang menyebutkan persyaratan berdasarkan jumlah penjualan dan bukan jumlah transaksi di Pasal 6 (7).
“Potensi pajak digital untuk pendapatan negara sebenarnya cukup besar. Apalagi sekarang ini semakin banyak bisnis berbasis offline bergeser menggunakan platform online. Walaupun demikian, kita juga patut memperhatikan kesiapan kerangka regulasi dan teknis implementasinya seperti apa,” tegasnya.
Mengingat bahwa pajak digital ini masih tergolong baru, bahkan di tataran global belum terdapat kesepakatan yang sifatnya multilateral. Indonesia perlu terus memantau hasil perundingan OECD mengenai pengenaan pajak.
“Pajak sebaiknya jangan menjadi beban dan mendisinsentif pelaku industri untuk menjalankan bisnisnya terutama terkait dengan pemberlakuan PPh badan,” kata Pingkan.
Untuk diketahui, sejak diberlakukan pada 1 Agustus 2020 lalu, barang dan jasa yang dijual perusahaan internasional berbasis digital wajib membayar pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.
Pengenaan PPN ini dibebankan kepada konsumen yang berlangganan layanan mereka. [FAZ]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID