Bagi yang doyan mengkritik pemerintah, silakan kritik pemerintah. Mau keras, mau lembek, mau kencang, mau pelan, boleh saja. Soalnya, pemerintah memastikan tak alergi kritik. Tapi, ada harapan, sikap itu dibarengi dengan adanya larangan jangan gampang laporin para pengkritik ke Polisi. Sehingga para pengkritik tidak takut harus berurusan dengan hukum.
Pemerintah yang tak antikritik itu disampaikan Presiden Jokowi di acara puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, di Istana Jakarta, kemarin.
“Kami membuka pintu bagi insan pers untuk turut memberikan kritik dan saran kepada pemerintah,” kata Jokowi.
Soal kritik ini, Jokowi juga menyampaikan lewat akun Instagramnya, @jokowi. “Dan tentu saja, pers menjadi ruang yang lapang untuk diskusi dan kritik untuk penanganan dampak pandemi yang lebih baik. Terima kasih pers Indonesia,” tulis Jokowi.
Sekretaris Kabinet, Pramono Anung menguatkan pernyataan Jokowi. Mantan Sekjen PDIP itu menegaskan, Pemerintah perlu dikritik.
“Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras. Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan lebih benar,” ujarnya.
Menurut mantan Wakil Ketua DPR ini, kebebasan pers adalah cerminan demokrasi. Kebebasan ini harus terus dijaga. Baginya, pers juga pengontrol ruang hidup negara dan masyarakatnya agar terarah dan lebih baik. “Kita meyakini dengan adanya fungsi kontrol ini, pemerintah dan juga masyarakat akan semakin baik dalam kehidupannya mengisi ruang-ruang demokrasi,” jelas Pramono.
Tak lupa, Pramono juga menyampaikan harapan. Dia ingin insan pers dapat terus menjaga integritasnya untuk terus mendorong Indonesia menjadi lebih kuat dan besar lagi sebagai sebuah negara.
“Pers yang berintegritas adalah satu syarat mutlak menjadikan bangsa ini bangsa pemenang, bangsa petarung, bangsa yang menjadi bangsa besar,” pungkasnya.
Ajakan Istana agar rakyat tak segan-segan menyampaikan kritik itu ditanggapi beragam. Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla menanggapi sinis ajakan ini. Kata dia, saat ini publik masih kurang yakin dengan ajakan itu. Sebab, banyak pengkritik yang harus berurusan dengan Polisi.
“Publik sudah ndak percaya. Para pengkritik banyak dilaporkan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ungkapnya, dalam akun @ulil, kemarin.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro memilih netral. Kata dia, memang dalam sistem demokrasi, pemerintah membutuhkan kritikan dari masyarakat. Kritik itu penting, karena kebijakan publik berdampak langsung kepada rakyat. “Saya menyambut baik ajakan itu,” kata Siti Zuhro.
Namun, Siti Zuhro sependapat dengan Ulil, saat ini, banyak para pendukung pemerintah malah bersikap berbeda dengan pemerintah. Mereka sering melaporkan para pengkritik ke Polisi.
“Selama hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dilakukan secara memadai dan dalam koridor hukum, tak perlu dipermasalahkan,” terang wanita yang akrab disapa Wiwik ini.
Dia mengingatkan, perbedaan pendapat tak harus berakhir di penjara. Sistem demokrasi mestinya dapat membangun kepercayaan. Sehingga, rasa saling menghormati, dan nilai positif lainnya dapat dirasakan. Karena itu, pemerintah harus menyertai imbauan ajakan menyampaikan kritik itu dengan imbauan jangan sedikit-dikit lapor Polisi. [MEN]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID